Selasa, 03 Juli 2012

Turki, Kurdi & Uni Eropa

  1. Konflik Internal Turki terhadap Hak Asasi Bangsa Kurdi
Suku Kurdi sejak dulu dikenal sebagai suku yang semi-nomaden. Mereka tersebar di berbagai wilayah (ada yang memperkirakan seluas 640.000 km persegi), dari barat laut Iran sampai timur laut Irak, Armenia, Turki, dan timur laut Suriah. Sebagian besar bangsa Kurdi adalah pemeluk Islam Sunni, meskipun ada yang menganut Yudaisme dan Kristen. Mereka tinggal di daerah-daerah rural, dan umumnya melakukan usaha pertanian, atau menggembalakan domba.[1]

Pada Bulan Agustus 1988, merupakan awal perkembnagan Kurdi di Turki ketika pasukan Irak melancarkan tindakan ofensif besar-besaran terhadap kaum (separatis) Kurdi di Irak utara. Ribuan orang Kurdi mengungsi (diperkirakan mencapai 100.000-150.000) ke perbatasan Turki. Mula-mula Turki bersimpati. Dengan alasan kemanusiaan dan sejarah (sebagaimana termaktub dalam Traktat Sevres 1920—bahwa kelak Turki harus mengakomodasi kemerdekaan bangsa Kurdi), mereka pun menyediakan semacam perkampungan suaka. Bahkan, Pemerintah Turki menolak permintaan Irak untuk mengizinkan pasukan mereka mengejar kaum Kurdi di Turki.[2]

Namun, keterbukaan Turki untuk menampung para pelarian Kurdi ternyata membuat Turki mengalami kesulitan tersendiri. Sekitar separuh dari seluruh populasi orang Kurdi tinggal di Turki. Secara cepat, bangsa Kurdi berkembang di wilayah Turki. Sekarang, dari sekitar 69.660.559 jumlah orang Turki, 14 hingga 21 jutanya adalah etnis Kurdi. Secara demografis mereka tersebar di wilayah tenggara Turki. Di Turki sendiri, sejarah perjalanan bangsa Kurdi tidak terlalu menyenangkan. Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk, telah menjadikan etnis-etnis tertentu di wilayah bekas Kekaisaran Ottoman itu menjadi tumbal bagi kemerdekaan Turki dari jajahan Inggris.[3]

Konferensi Lausane yang ditandatangani oleh Attaturk dan Mentri Luar Negeri Inggris Lord Curzon pada 24 Juli 1923, menegaskan bahwa segala konstitusi Islami harus dihapuskan jika Turki ingin merdeka. Attaturk kemudian setuju untuk menganut republik sekuler, dan menghapus pemerintahan kekhilafahan sebelumnya.[4] Pada masa yang sama, Turki mengadopsi sistem numerasi internasional dan alfabet Latin. Berikutnya Turki mengadopsi kode komersial baru (1929), hak voting dan elektoral bagi perempuan dalam pemilu lokal (1930) dan kemudian dalam pemilu parlemen (1934), melarang pemakaian kostum-kostum keagamaan di luar tempat ibadah (1934), mengadopsi nama akhir (1935), dan masih banyak lagi.[5]

Akibatnya, segala bentuk pengungkapan diri bagi kaum Kurdi (juga kelompok-kelompok minoritas lain di Turki) yang menunjukkan identitas etnik yang unik direpresi secara semena-mena. Kurdi tidak punya hak berpolitik (untuk beberapa lama), tidak punya akses pendidikan, dan informasi. Bahkan sebelum 1991, bahasa Kurdi yang tersebar secara luas dianggap ilegal. Hingga 1999 pun masih ada batasan-batasan tertentu bagi bangsa Kurdi (misalnya siaran radio Kurdi tidak boleh lebih dari 1 jam per hari, lima hari seminggu). Bangsa Kurdi merasa disingkirkan, dicerabut dari tanah kelahirannya, dan dihimpit tanpa belas kasihan. Maka dimulailah konflik panjang antara bangsa Kurdi dan pemerintah Turki.
Partai Pekerja Kurdistan (Bahasa Kurdi: Partiya Karkeren Kurdistan atau PKK) pun didirikan pada 1970-an oleh Abdullah Ocalan untuk merangkum aspirasi kaum Kurdi.[6]

Kelompok bersenjata yang menganut ideologi Marxisme-Leninisme dan nasionalisme Kurdi ini menegaskan bahwa tujuan mereka adalah menciptakan sebuah negara Kurdi merdeka yang di wilayah Kurdistan (yaitu Turki bagian tenggara, timur-laut Irak, timur-laut Syria, dan barat-laut Iran). Bagi Turki, organisasi ini bersifat memberontak dan, karena mempergunakan kekuatan bersenjata, menjadi ancaman bagi masyarakat secara umum. PKK kemudian dikategorikan sebagai organisasi teroris internasional oleh sejumlah negara, termasuk AS dan Uni Eropa. Ankara menuduh bahwa sebanyak 30.000 orang yang menjadi korban dari konflik panjang ini semata-mata salah PKK.[7]

PKK sendiri membantah dengan mengatakan bahwa kebutuhan untuk membebaskan rakyat Kurdi dari penindasan kultural yang massif terhadap identitas dan hak-hak Kurdi yang dilakukan oleh pemerintah sudah sampai di puncak tertinggi. Jadi, meskipun langkah-langkahnya dikecam banyak lembaga internasional, PKK tidak ambil peduli. Perjuangan bersenjata pun dilangsungkan sejak 1984, dan memakan korban ribuan jiwa. Tidak hanya itu, karena perang terbuka yang terjadi di antara kedua belah pihak, banyak desa-desa di wilayah tenggara Turki yang ditinggalkan oleh penduduknya (depopulasi). Tercatat, ada sekitar 3000 pemukiman Kurdi yang terhapus dari peta, yang berarti sekitar 378.000 orang Kurdi tidak punya tanah hunian.[8]

Penangkapan Abdullah Ocalan, pemimpin PKK, pada 16 Februari 1999 di Kedutaan Besar Yunani di Nairobi, ternyata tidak mengendurkan perlawanan Kurdistan. PKK menjawab penangkapan Ocalan dengan serangkaian pengeboman dan serangan bersenjata, baik di Turki maupun di luar Turki. PKK adalah organisasi yang besar dan kuat. Anggotanya meliputi 10-15 ribu gerilyawan aktif, dan 60-75.000 pasukan pendukung. Kelompok-kelompok lain seperti DHKP/C, IDBA-C, TAK, dan lain-lain terus menyerang fasilitas-fasilitas pemerintahan dan publik Turki. Mereka pun mempergunakan aktivitas-aktivitas terorisme (bom, penyanderaan, pembunuhan) untuk membuat pernyataan politik, terutama di Istanbul.[9]

Pada Juli 2003, Parlemen Turki memberlakukan “UU Reintegrasi” yang isinya mengurangi masa tahanan atau memberikan kebebasan untuk mereka (tahanan atau gerilyawan yang masih aktif) yang mau menyerahkan senjata dan memberikan informasi seputar gerakan pemberontak. Banyak tahanan yang membuka mulut karena UU ini. Pemerintah melaporkan bahwa hingga Desember tahun yang sama, ada 2.486 tahanan dan 586 kombatan aktif yang melapor. Hanya, angka ini tidak bisa diverifikasi secara independen. Namun yang pasti, konflik di Turki terjadi semenjak 15 Agustus 1984 karena pemerintah Turki tidak menghargai hak-hak kultural dan identitas kaum Kurdi. Hukum ditegakkan hanya untuk menyingkirkan kaum Kurdi. Semua upaya diberlakukan untuk membatasi ruang gerak sosio-politis bangsa Kurdi.[10]

2.      Polemik keanggotaan Turki di Uni Eropa karena konflik bangsa Kurdi dan Peran Uni Eropa dalam penyelesaian konflik Kurdi
Masalah Kurdi di Turki telah ada selama berabad-abad dan sejak dasar Republik Turki pada tahun 1923. Selama masa pemerintahan Presiden Sulaiman Demirel pemberontakan yang dimotori oleh PKK terjadi sebanyak  29 pemberontakan Kurdi terpanjang terhadap rezim Turki. Selanjutnya sejak tahun 1984 Turki telah membuat 24 serangan di Irak terhadap PKK dan sebagian besar dengan bantuan Amerika Serikat, Irak, dan partai politik Kurdi di Irak, tetapi mereka tidak pernah berhasil menyelesaikan masalah Kurdi atau PKK di Turki. Amerika Serikat dengan bantuannya, telah menangkap Abdullah Ocalan pendiri dan presiden PKK pada bulan Februari 1999 di Kenya, dan menyerahkan ke pemerintah Turki.[11]

Kondisi domestik Turki inilah yang kurang sesuai dengan aspek politik dari Kriteria Kopenhagen. karena adanya masalah dalam hal penghormatan terhadap HAM dan perlindungan terhadap minoritas. Misalnya, Cara penanganan pemerintah Turki terhadap pemberontakansuku Kurdi di Turki Tenggara yang oleh Uni Eropa dianggap kurang sesuai dengan prinsip tersebut. hal itu akan berpengaruh negatif terhadap prospek keanggotaan Turki dalamUni Eropa. Selain itu, secara teoritis terdapat perbedaan yang jauh antara karakteristik dasar sistem politik Turki dengan karakteristik dasar negara-negara Uni Eropa.[12]

Sejak tahun 1964 turki telah menjalin hubungan dengan negara Uni Eropa yaitu dengan persetujuan Ankara Association Agreement. Perjanjian ini mengatur upaya-upaya segera yang akan dilakukan untuk merancang suatu persetujuan uni pabean antara Turki dan Uni Eropa.[13] Karena Turki merasa bahwa dalam hubungannya dengan Uni Eropa selalu berpegang teguh pada kerangka uni pabean, maka Turki secara formal mengajukan lamaran untuk menjadi anggota Uni Eropa pada tanggal 14 April 1987. Sebagai jawaban atas lamaran Turki tersebut, pada tanggal 20 desember 1989, Uni Eropa menyatakan bahwa diantara Turki dan Uni Eropa masih terdapat kesenjangan sosio-politik dan ekonomi yang besar yang menyebabkan lamaran Turki di pertimbangkan.[14] Salah satu penyebab pertimbangan Uni Eropa adalah konflik yang terjadi antara suku Kurdi dengan pemerintah Turki yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM terhadap bangsa Kurdi.
Sebagai organisasi supranasional, Uni Eropa mempunyai legitimasi yang cukup kuat untuk mempengaruhi konstelasi politik dalam negeri setiap anggotanya. Uni Eropa sebagai organisasi regional paling berpengaruh dan mempunyai hard power dan soft power terkait integrasi anggotanya merupakan organisasi yang paling tepat untuk ikut serta dalam proses menjaga perdamaian dan keamanan dunia. Karena keikutsertaan Uni Eropa dalam berbagai upaya penjagaan perdamaian dan keamanan dunia, dapat mempengaruhi dan membantu menyelesaikan masalah yang menjadi ancaman keamanan dan stabilitas dunia.[15]
Hal itu pula yang dilakukan Uni Eropa terhadap Turki. Uni Eropa mampu memaksa Turki untuk segera menyelesaiakan konflik Kurdi dengan cara damai menggunakan resolusi konflik Peacemaking. Upaya Uni Eropa untuk menciptakan dan menjaga perdamaian, keamanan, keadilan serta memperkuat kerjasama di Eropa dilakukan dengan menjalankan Badan Uni Eropa yang bernama OCSE (Organization for Security and Cooperation in Europe) yang didirikan pada tahun 1973 sebagai wujud organisasi regional hasil dari Coneference on Security and Cooperation in Europe (CSCE).[16]
Pada Desember 1996, perjanjian Lisbon menegaskan sifat keamanan OSCE yang lebih universal dan tidak terfokus hanya pada masalah kemanan benua Eropa. Selain itu, diharapkan pula kerjasama d benua Eropa tidak terpecah-pecah. OSCE memiliki anggota sebanyak 56 negara yang tidak hanya berasal dari benua Eropa, tapi juga dari Kaukasia, asia Tengah dan amerika Utara.[17] Organisasi ini aktif mengurusi masalah-masalah pencegahan perang, konflik, manajemen krisis, dan ehabilitasi sesudah perang. Pendekatan OSCE dalam bidang keamanan bersifat komprehensif dan kooperatif, berkenan dengan meluasnya isu-isu kemanan termasuk hak asasi manusia, demokratisasi, pengawasan pemilihan umum, serta keamanan ekonomi dan lingkungan.[18] Oleh karenanya, OSCE juga berperan dalam penyelesaian konflik dan pelanggaran HAM terhadap suku Kurdi di Turki. Terlebih Turki tengah mendaftarkan diri dan menunggu keputusan Uni Eropa untuk menerima Turki menjadi anggota Uni Eropa. Sehingga Uni Eropa mampu memaksa Turki untuk dapat menyelesaikan konflik Internal suku Kurdi di Negaranya.
Berikut ini gambaran singkat mengenai aktifitas OSCE :[19]
Aspek
Kegiatan
Wujud Kegiatan
Politik-Militer
Komitmen dan mekanisme Negara-negara anggota untuk pencegahan konflik dan resolusi dengan cara meningkatkan keamanan militer, meningkatkan keterbukaan, transparansi dan kerjasama.
·      Pengontrolan persenjataan
·      Manajemen perbatasan
·      Peperangan melawan terorisme
·      Pencegahan konflik
·      Kerjasama militer
Ekonomi & Lingkungan hidup
Pengawasan terhadap perkembangan aspek ekonomi dan lingkungan hidup di Negara-negara anggota dengan tujuan memperingatkan mereka pada setiap ancaman konflik (human Security), membantu dalam pembuatan kebijakan-kebijakan dalam bidang ekonomi dan lingkungan dan inisiatif yang berhubungan untuk meningkatkan keamanan dalam wilayah OSCE.
·      A ktifitas ekonomi : organisasi ini menyadari bahwa kestabilan ekonomi merupakan salah satu pilat kestabilan sehingga salah satu aktiftasnya adalah menciptakan kondisi perekonomian yang sehat bagi Negara-negara anggotanya.
·      Aktifiotas lingkungan : bertujuan untuk menjaga keseimbangan ekologi.
Kemanusiaan
Menjamin penghormatan penuh terhadap hak asasi manusia dan kebebasan fundamental, mematuhi peraturan hokum, meningkatkan prinsip-prinsip demokrasi, memperkuat dan melindungi lembaga-lembaga demokrasi, dan meningkatkan toleransi di seluru daerah OSCE.
·      Perang melawan penyelundupan
·      Demokratisasi
·      Pendidikan
·      Penyelenggaraan pemilihan Umum
·      Persamaan Gender
·      Human Rights
·      Kebebasan media
·      Hak-hak minoritas

  1. Pentingnya Penegakan HAM bagi Uni Eropa
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang sudah melekat pada setiap manusia sejak dia dilahirkan, dan hak itu merupakan keniscayaan yang tidak dapat dilepaskan pada setiap individu, karena tanpa hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai manusia yang seutuhnya. Misalnya hak untuk hidup, dengan klaim ini, manusia berhak melakukan apapun yang dapat membuat dia tetap bertahan hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Hak dasar tersebut bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat individu sebagai manusia seutuhnya.[20] Menurut John Locke, Hak Asasi Manusia merupakan anugrah dari yang Maha Kuasa sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena hak tersebut merupakan kodrat manusia, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut hak tersebut.[21]
Pada perkembangan kata HAM bermula dari kawasan Eropa yang ditandai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 dengan tujuan membatasi kekuasaan absolut para raja atau penguasa. Dengan lahirnya Magna Charta tersebut, para raja atau penguasa sudah mulai terikat dengan hukum. Di mana Raja atau penguasa yang menciptakan hukum atau aturan, meski mereka tidak terikat dengan peraturan yang mereka buat, akan tetapi setelah lahirnya Magna Charta tersebut apabila raja melanggar aturan, sekalipun kekuasan para raja masih sangat dominan dalam pembuatan undang-undang, maka dia harus diadili dan dipertanggung jawabkan kebijakannya dihadapan parlemen.[22]
Kemudian Di Inggris pada tahun 1689 lahir undang-undang Hak Asasi Manusi. Di mana pada saat yang bersamaan mucul istilah equality before the law atau manusia adalah sama di muka hukum. Sehingga pandangan ini memunculkan wacana negara hukum dan negara demokrasi. Karena menurut Bill of Rights, asas persamaan harus diwujudkan betapa pun berat rintangan yang akan dihadapi, karena menurut pandangan ini, kebebasan mustahil terwujud tanpa adanya persamaan. Selanjutnya, pada tahun 1789 Lahir Deklarasi Perancis (The French Declaration). Di mana dalam deklarasi ini memuat aturan-aturan hukum yang menjamin Hak Asasi Manusia dalam proses hukum, seperti larangan penangkapan dan penahanan seseorang secara sewenang-wenang tanpa alasan yang sah atau penahan tanpa surat perintah dari lembaga hukum yang berwenang. HAM telah menjadi sebuah konsep hukum tertulis yang mempengaruhi kebijakan suatu negara.[23]
Inilah yang terjadi di Uni Eropa. Negara-negara anggota Uni Eropa banyak mencetuskan dan merumuskan hukum internasional mengenai Penegakan Hak Asasi Manusia. Kovenan dan hukum yang diterapkan negara Eropa, berpengaruh bagi negara negara Eropa lainya. Terlebih peran Inggris dan Prancis yang sangay vital bagi Uni Eropa, menyebabkan kedua negara tersebut mampu menerapkan kovenan dan hukum negaranya ke dalam organisasi Uni Eropa, sehingga hukum tersebut juga di terapkan negara-negara anggota Uni Eropa lainnya.
Penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan elemen penting dalam perwujudan sebuah negara yang beradab (civiled nations). Demokrasi dan HAM memiliki hubungan timbal balik (reciprocal) yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Jika Demokrasi dan HAM berjalan dengan baik, maka akan melahirkan dan membentuk tatanan masyarakat dan negara yang demokratis, egaliter dan kritis terhadap pelanggaran HAM.
Adanya pelanggaran HAM maka tentunya stabilitas dan keamanan suatu negara akan terancam dan tentunya mengancam negera-negara di sekitarnya, di kawasannya dan terlebih mengancam stabilitas dan keamanan dunia. Pelanggaran HAM dapat menjadi alasan bagi dunia internasional untuk mengintervensi sebuah konflik internal. Pelanggaran HAM karena penindasan kaum minoritas suku Kurdi di Turki mengakibatkan kerusuhan, pemberontakan, imigrasi ke negara-negara tetangga dan revolusi sosial karena adanya keinginan untuk memisahkan diri dari pemerintah pusat Turki. Hal ini, pada gilirannya, dapat mengakibatkan penindasan yang bahkan lebih brutal atau perang antar-etnis, yang merupakan ancaman utama bagi perdamaian dan stabilitas internasional.
Inilah yang dikhawatirkan oleh Uni Eropa. Konflik terhadap suku Kurdi di Turki menyebabkan adanya ketidakstabilan yang tidak hanya mengancam keamanan nasional Turki, tapi juga mengancam negara-negara anggota Uni Eropa yang merupakan negara tetangga Turki. Konflik yang berkepanjangan dapat menyebabkan banyaknya suku Kurdi yang memilih untuk mengungsi ke negara-negara tetangga Turki yang lebih aman, dan pilihan tersebut adalah negara-negara Eropa.
4.      Upaya Turki dalam menyelesaikan masalah internal Hak Asasi Bangsa Kurdi
Setelah dasawarsa penuh konflik dan kebijakan represif, Turki tampak akan mengambil langkah-langkah penting untuk memulai sebuah prakarsa damai guna memecahkan masalah kerusuhan yang telah lama terjadi di tengah warga Kurdi di negaranya. Selain itu, Turki harus melampaui upaya-upaya yang pernah dilakukan dan benar-benar melibatkan warga Kurdi dalam prosesnya. Turki telah mencoba mengukuhkan diri sebagai sebuah negara besar dan mediator di kawasan Timur-Tengah, melalui berbagai prakarsa seperti memfasilitasi dialog tak langsung antara Israel dan Syria. Munculnya Turki, yang kini anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB, telah mendorong negara ini lebih banyak bicara mengenai peristiwa-peristiwa internasional.[24]

Namun meningkatnya kemunculan Turki dalam panggung internasional juga telah menarik perhatian orang pada masalah-masalah dalam negeri Turki, khususnya konflik dengan penduduk Kurdi, yang mencapai 20 persen dari total penduduk negara ini. Situasi di wilayah tenggara yang didominasi suku Kurdi memang jauh lebih baik ketimbang pada masa 1980-an dan 1990-an ketika konflik dengan Partai Pekerja Kurdistan (PKK) menjadikan daerah ini semacam zona perang. Namun masih ada masalah-masalah penting.[25] Para politisi Kurdi setempat masih mendapat kecaman bila berbicara dalam bahasa Kurdi pada acara resmi. Dan beberapa tahun belakangan, belasan pemuda Kurdi yang berunjuk rasa memprotes pemerintah telah dipenjara lantaran mendukung PKK. Meskipun partai berkuasa, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) mempunyai anggota dari kalangan Kurdi, dan Partai Masyarakat Demokratik Kurdi (DTP) meraih 20 kursi dari 550 kursi parlemen, pada kenyataannya hanya ada sedikit ruang bagi aspirasi masyarakat Kurdi dalam struktur politik Turki sekarang.[26]

Dalam mengatasi konflik suku Kurdi di Turki, cara yang telah dilakukan oleh pemerintah Turki adalah dengan proses Peacemaking. Turki  berupaya untuk menyelesaikan konflik Kurdi dengan cara damai. Awal tahun ini, pemerintah meluncurkan stasiun televisi pemerintah pertama yang berbahasa Kurdi. Dan dalam beberapa bulan terakhir, Presiden Abdullah Gul dan Perdana Menteri Recep Tayyip Erdogan telah menandaskan bahwa sebuah prakarsa untuk secara serius menangani warga Kurdi tengah disiapkan. Menteri Dalam Negeri Turki, Besir Atalay juga mengatakan dalam sebuah konferensi pers 29 Juli lalu bahwa pemerintah tengah aktif menggodog sebuah rencana menyeluruh untuk meningkatkan hak-hak masyarakat Kurdi atas dasar demokratisasi, dan untuk memperluas ruang budaya mereka.[27]

Ini bukan pertama kali Ankara mencoba memecahkan masalah Kurdi. Prakarsa-prakarsa yang dulu telah mencakup beragam paket pembangunan ekonomi—biasanya dengan dana tak memadai—untuk daerah tenggara yang sangat terbelakang, yang tertinggal dari daerah-daerah lain hampir dalam semua indikator taraf ekonomi. Namun, kali ini prakarsa pemerintah kelihatannya berbeda.[28] Ada beberapa langkah yang akan dilakukan Turki untuk menangani kasus Kurdi. Pertama, pemerintah tampak akan bicara mengenai sebuah paket komprehensif, yang meliputi hak-hak budaya, reformasi politik dan demokratisasi. Kedua, kemauan di balik prakarsa baru ini bukanlah karena tekanan dari luar, melainkan lantaran kemapanan politik dan militer sendiri. Ini tentu akan memudahkan pemerintah untuk memasarkan rencana tersebut kepada publik yang skeptis, yang sering kali diberi tahu bahwa tuntutan masyarakat Kurdi untuk mendapat lebih banyak hak, mengancam kesatuan nasional.

Faktor keberhasilan yang paling penting adalah kebutuhan untuk melibatkan berbagai unsur masyarakat Kurdi, seperti kelompok masyarakat sipil, dalam proses tersebut, dan untuk mempertimbangkan keluhan masyarakat Kurdi, termasuk tuntutan-tuntutan akan kekuasaan politik yang lebih luas bagi lembaga-lembaga perwakilan di daerah tenggara. Proses memulai prakarsa perdamaian harus mencerminkan tujuannya, yaitu memberi penduduk Kurdi ruang budaya dan politik di Turki.


 
I.                   KESIMPULAN
Kurdi adalah kelompok minoritas dengan dampak terbesar pada politik nasional Turki. Populasi Kurdi yang terus meningkat menyebabkan persepsi sebagai kaum minoritas yang dapat menimbulkan ancaman bagi kesatuan nasional Turki. Hal ini di sebabkan karena modernitas yang ingin diwujudkan oleh Turki, dan keberadaan suku Kurdi dapat menghambat modernitas Negara Turki. Karena lokasinya yang strategis secara geopolitik dan tersedianya minyak dalam jumlah besar lengkap dengan jalur pipanya menuju Eropa dan juga Israel, usaha  bangsa Kurdi untuk menjadi bangsa yang independen semakin sulit terealisasi. Setiap aktifitas untuk memerdekakan diri selalu berakhir dengan penindasan. Jalan menuju kemerdekaan bagi Kurdistan seakan menunggu kehancuran tiga negara yang menguasainya.

Konstruktifis berkontribusi dalam menganalisa kasus ini dengan memberikan dua kontribusi. Pertama: Konstruktifis mampu melihat bahwa konflik tidak hanya terjadi antar negara, tapi konflik juga dapat terjadi antara negara dan kelompok karena sama-sama memiliki kepentingan. Konflik yang terjadi antara Turki dan Kurdi disebabkan karena baik pemerintah Turki maupun Kurdi memiliki kepentingan masing-masing. Turki ingin tetap mempertahankan daerah wilayah Kurdi yang memiliki sumber daya alam yang melimpah, sedangkan Kurdi ingin memerdekakan diri demi menjaga populasi dan budaya mereka yang selama ini mendapat diskriminasi dari pemerintah Turki. Kedua: Konstruktifis menjelaskan bahwa konflik tersebut juga disebabkan karena adanya intimidasi dan diskrimanasi terhadap identitas suku Kurdi. Bangsa Kurdi mendapat larangan untuk melestarikan budaya dan bahasanya yang menjadi identitas sukunya.

Namun, Konflik yang berkepanjangan ini justru membawa implikasi terhadap peran dan posisi Turki dalam dunia Internasional terutama dalam Uni Eropa. Pengajuan Turki sebagai anggota Uni Eropa justru terhambat karena masalah pelanggaran HAM bangsa Kurdi. Sehingga dalam konflik ini, Uni Eropa juga berperan sebagai institusi yang mampu memaksa Turki untuk menyelesaikan masalah Kurdi dengan cara damai. Upaya yang dilakukan Turki untuk mengatasi konflik ini adalah dengan cara Peacemaking. Turki berusaha menyelesaikan konflik ini dengan cara dan jalan damai dengan memberikan suku Kurdi hak-hak mereka meski hak-hak bangsa Kurdi masih dibatasi dan tidak sepenuhnya diberikan kepada suku Kurdi.




[1] Ully Nuzulia. Gambaran Umum Turki dan Kurdi. Tesis S2. Jakarta : Universitas Indonesia. http://eprints.lib.ui.ac.id/3192/8/117140-T%2024320-kebijakan%20pemerintah-analisis.pdf diakses pada tanggal 8 Juni 2011
[4] Ully Nuzulia. Gambaran Umum Turki dan Kurdi. Tesis S2. Jakarta : Universitas Indonesia. http://eprints.lib.ui.ac.id/3192/8/117140-T%2024320-kebijakan%20pemerintah-analisis.pdf diakses pada tanggal 8 Juni 2011
[8] Ully Nuzulia. Gambaran Umum Turki dan Kurdi. Tesis S2. Jakarta : Universitas Indonesia. http://eprints.lib.ui.ac.id/3192/8/117140-T%2024320-kebijakan%20pemerintah-analisis.pdf diakses pada tanggal 8 Juni 2011
[9] Yon Machmudi.  Kurdi:  Bangsa Besar yang Termarjinalkan. staff.ui.ac.id/internal/070603201/publikasi/kurdi.doc Diakses pada tanggal 4 Juni 2011
[11] (Andri Faisal, Pengamat dunia Islam) Hubungan Turki dan Israel yang Takkan Pernah Lagi Sama. http://www.eramuslim.com/berita/analisa/hubungan-turki-dan-israel-yang-takkan-pernah-lagi-sama.htm diakses pada tanggal 15 Mei 2011
[12] Amed Demirhan : Hubungan Turki-Amerika. http://www.kurdishaspect.com/doc102907AD.html Diakses pada tanggal 15 Mei 2011
[13] Werner weidenfeld and Wolfgang wessels. Europe from A to Z. Guide to European Integration. Luxembourg : Office for official publications of the european communities. 1997. Halaman 91.
[14] Dadang Hidayat “Prospek keanggotaan Turki dalam Uni Eropa”. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Bidang Ilmu Sosial. 1999.
[15] Nuraeni S, dkk. Regionalisme dalam studi Hubungan Internasional. 2009. Yogyakarta : Pustaka pelajar. hal.180
[16] Ibid. hal.185
[17] Ibid.  hal.185
[18] Ibid. hal.185
[19] http://www.osce.org diakses pada tanggal 15 Mei 2011
[20] Dr. Anak Agung Banyu Perwita, Dr. Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 151
[21] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewargaan (Civiv Education). ICCE UIN Syahid Jakarta. Hal 252-253
[22] Ibid. Hal.253     
[23] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewargaan (Civiv Education). ICCE UIN Syahid Jakarta. Hal 252-253
[24] Amed Demirhan : Hubungan Turki-Amerika. http://www.kurdishaspect.com/doc102907AD.html Diakses pada tanggal 15 Mei 2011
[25] Ibid. Diakses pada tanggal 15 Mei 2011
[26] Yigal Schleifer : Angin perubahan dalam hubungan Turki-Kurdi. http://berita.kapanlagi.com/politik/internasional/turki-irak-kerja-sama-perangi-pemberontak-kurdistan-r5sbdrk.html Diakses pada tanggal 15 Mei 2011
[27] Yigal Schleifer : Angin perubahan dalam hubungan Turki-Kurdi. http://berita.kapanlagi.com/politik/internasional/turki-irak-kerja-sama-perangi-pemberontak-kurdistan-r5sbdrk.html Diakses pada tanggal 15 Mei 2011
[28] Ibid. Diakses pada tanggal 15 Mei 2011

1 komentar:

Add your Comment now...
Thank you. ^_^