Kamis, 05 Juli 2012

Pemikiran Politik Islam


Hak Cipta oleh : Ahla Aulia
Islam memiliki peradaban yang diakui dunia sebagai peradaban yang kuat dan tegar. Terdapat beberapa fakta yang menjadikan peradaban Islam dianggap sebagai peradaban yang kuat dan tegar. Jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Mongolia ternyata tidak memadamkan semangat umat Islam. Pada waktu yang bersamaan, kebangkitan Islam muncul di belahan barat, Andalusia. Saat Andalusia hancur Islam-pun tumbuh kembali di Turki (Utsmani). Dan ketika runtuhnya kekhalifahan Utsmaniyah, negara-negara Islam memerdekakan diri dari cengkeraman komunis hingga sekarang.
Wacana pemikiran Islam tentang hubungan agama dengan negara mengalami sebuah dinamisasi terutama pasca kebangkrutan pemerintahan khilafah Islam terakhir, Turki Usmani Hal ini disebabkab oleh beberapa faktor. Pertama, terjadinya pergeseran paradigma pemikiran agama yang dimulai sejak ekspansi Prancis atas Mesir yang menyebabkan hentakan psikologi ummat Islam akan fakta kemajuan bangsa-bangsa di luar Islam. Keadaan ini meyadarkan ummat Islam, semisal Jamaluddin Afgani, Sayyid Qutb, Muhammad Abduh dan lain-lain, untuk segera melakukan upaya pembaruan sikap yang tentunya harus dimulai dari pembaruan paradigma. Sejak itu pergeseran paradigma mulai terjadi dalam benak ummat Islam dan menjadi usaha yang nampak niscaya untuk menggapai kemajuan. Kedua, akibat perkembangan modernisasi yang melanda dunia, termasuk di dalamnya dunia Islam yang secara berangsur-angsur menempatkan modernisasi dengan implikasinya sebagai keharusan sejarah. Akibatnya, terjadi pergeseran singnifikan terhadap tafsir bentuk negara ideal yang menyeret debat seputar bagaimana peran agama dalam menentukan pemerintahan dalam sebuah negara modern yang majemuk. Terutama sekali seperti apa yang terjadi pada negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam, seperti Indonesia, Sudan, Turki, Malaysia dan lain-lain.[1] 
A.    DEFINISI PEMIKIRAN POLITIK
Sebuah pemikiran tidak jarang dinisbahkan kepada bangsa yang menyebarkan dan mengadopsinya sehingga dinyatakan, misalnya, pemikiran Eropa atau pemikiran Rusia; kadang-kadang juga dinisbatkan kepada peletak dasar pemikiran itu sehingga sering dinyatakan pemikiran Marxis, pemikiran Plato, atau pemikiran Hegel.
Suatu pemikiran juga acapkali disandarkan pada kaidah dasar (al-qaidah al-asasiyyah) yang menjadi landasan pemikiran tersebut sehingga dinyatakan, misalnya pemikiran Islam. Disebut demikian karena kaidah dasar yang membangun pemikiran tersebut adalah kaidah Islam. Kaidah Isalam bukan berasal dari orang Arab atau manusia lainnya. Kaidah Islam berasal dari Allah swt. Dialah yang telah memberi nama bagi ideologi (mabda) dan agama ini dengan nama Islam.[2]
Pemikiran Politik adalah pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan dan pemeliharaan urusan rakyat. Merupakan pemikiran tertinggi, dibandingkan pemikiran sastra, pemikiran hukum dan pemikiran faktual. Setiap gerakan tertentu tidak mungkin terjadi tanpa pemikiran yang melatarbelakanginya. Pemikiran tersebut mungkin dapat dinamakan ideology, atau asumsi, atau pandangan tentang hidup dan dunia (weltanschauung) yang dimiliki sekelompok orang tentang dirinya dan dunia sekelilingnya, dan hal itu sekaligus pembenaran dari segala tindakan yang diambilnya.[3] Pemikiran Islam dibangun atas dua asas, yakni akal dan syariat.[4]
1.Akal : Islam telah memerintahkan manusia untuk mempergunakan akalnya. Hal inilah yang menunjukan bahwa akidah Islam adalah akidah aqliyyah. Akidah yang menjadi asas bagi pemikiran Islam. Akidah yang dibangun berdasarkan akal.
2. Syariat : Sumber pemikiran Islam, dengan seluruh bagiannya, adalah hukum syariat yang bersumber dari wahyu, yaitu al-Quran dan as-Sunnah yakni Ijma sahabat dan Qiyas. Syariat merupakan asas pemikiran Islam. Sampai kapanpun, pemikiran Islam tidak akan keluar dari syariat. Agar suatu pemikiran dianggap sebagai pemikiran Islam maka harus digali dari dalil-dalil syariat, misalnya jihad, syura, dan iman kepada jin. Semuanya adalah pemikiran Islam yang datang dari dalil-dalil kitabullah dan Sunah Rasul. Adapun imperialisme, teori darwin, ataupun pemikiran sosialism, bukanlah pemikiran Islam. Bahkan pemikiran Islam telah menjelaskan sikapnya terhadap pemikiran-pemikiran semacam ini. Ciri khas pemikiran Islam akan hilang jika terpisah secara keseluruhan atau sebagian dari wahyu.

B.     TIPOLOGI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM TRADISIONAL
Tipologi ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah). Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara betul-betul organik dimana negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna, bagi pemikir politik Islam tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk tipologi ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Quthub (1906-1966), Abu al-‘Ala al-Maududi (1903-1979), Taqiyuddin An Nabhani dan di Indonesia Muhammad Natsir.[5]
Kekhalifahan Usmani bagi mereka, merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili Nabi pasca Abbasyiah yang mempersatukan Umat Islam di berbagai dunia yang perlu dihidupkan kembali dengan tugas untuk mengatur urusan agama dan dunia (harasah al-din wa siyasah al-dunya), suatu pemikiran yang sama persis dengan pemikiran al-Mawardi misalnya. Alasannya karena Al-Qur’an, Hadis dan ijma’ pun menghendakinya. Tentu saja ahl al-halli wa al-‘aqd, sebagai lembaga pemilih khalifah, juga perlu dibentuk.

Perkembangan Hak Asasi Manusia di Indonesia


Hak cipta oleh : Ahla Aulia
Secara harfiyah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknai sebagai hak-hak yang dimiliki seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Isu mengenai HAM merupakan suatu tuntutan kemanusiaa. HAM telah menjadi sebuah konsep hukum tertulis yang mempengaruhi kebijakan suatu negara. Misalnya di Inggris dikenal adanya Magna Charta 1215 dan Bill of Rights 1776 dan Declaration of Independence and People Rights. Kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan Universal Declaration of Human Rights 1498 yang hukum tertulis tersebut mempengaruhi kebijakan seluruh negara anggota PBB untuk menegakan Hak-hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia merupakan hak dasar yang sudah melekat pada setiap manusia sejak dia dilahirkan, dan hak itu merupakan keniscayaan yang tidak dapat dilepaskan pada setiap individu, karena tanpa hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai manusia yang seutuhnya. Misalnya hak untuk hidup, dengan klaim ini, manusia berhak melakukan apapun yang dapat membuat dia tetap bertahan hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Hak dasar tersebut bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat individu sebagai manusia seutuhnya.[1] Menurut John Locke, Hak Asasi Manusia merupakan anugrah dari yang Maha Kuasa sebagai sesuatu yang bersifat kodrati. Karena hak tersebut merupakan kodrat manusia, maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut hak tersebut. [2]
Setelah demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan elemen penting dalam perwujudan sebuah negara yang beradab (civiled nations). Demokrasi dan HAM memiliki hubungan timbal balik (reciprocal) yang saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Jika Demokrasi dan HAM berjalan dengan baik, maka akan melahirkan dan membentuk tatanan masyarakat dan negara yang demokratis, egaliter dan kritis terhadap pelanggaran HAM. HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan. Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia mengalami pasang surut dalam penegakan HAM di negaranya. Namun, Indonesia terus berusaha untuk terus meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan HAM untuk mewujudkan negara yang beradab (Civiled Nations).
Pemahaman HAM di Indonesia sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Wacana HAM di Indonesia telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara kesatuan Republik Indonesia. Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia  (2001), membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu periode sebelum Kemerdekaan (1908–1945), periode setelah Kemerdekaan (1945-sekarang).[3]
1. Periode Sebelum Kemerdekaan (1908–1945)
Pemikiran HAM dalam periode sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi pergerakan nasional seperti Boedi Otomo. Dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan pendapat melalui petisi-petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Pemikiran HAM lainnya, lahir dari gerakan organisasi seperti : [4]
1.      Perhimpunan Indonesia yang lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
2.      Sarekat Islam, menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas dari penindasan dan deskriminasi rasial.
3.      Partai Komunis Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenan dengan alat produksi.
4.      Indische Partij, pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
5.      Partai Nasional Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
6.      Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Lahirnya organisasi pergerakan nasional tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh penguasa kolonial, penjajahna dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah.[5] Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan pernah menjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan, hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan tulisan dan lisan.
2. Periode Setelah Kemerdekaan (1945–sekarang)
a) Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka (Self Determination), hak kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan masuk kedalam hukum dasar Negara (konstitusi) yaitu, UUD 45.
Wacana HAM masih dirincikan pada :[6]
1.      Bidang sipildan politik, melalui :
a.       UUD 1945 (pembukaan, pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, penjelasan pasal 24 dan 25.
b.      Maklumat Pemerintah tanggal 1 November 1945.
c.       Maklumat pemerintah 3 November 1945.
d.      Maklumat Pemerintah 14 November 1945.
e.       KRIS, Khususnya Bab V, pasal 7-33.
2.      Bidang ekonomi, sosial dan budaya, melalui :
a.       UUD 1945 (pasal 27, pasal 31, pasal 33, pasal 34, penjelasan pasal 31 dan 32)
b.      KRIS pasal 36-40
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950–1959 dalam perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Indikatornya menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek :[7] Pertama, semakin banyak tumbuh partai–partai politik dengan beragam ideologinya masing-masing. Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga, pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini merupakan masa berakhirnya demokrasi liberal yang digantikan dengan sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. sistem pemerintahan yang berlaku dengan sistem demokrasi terpimpin adalah reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi Parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin) kekuasan berpusat pada dan berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik maupun dalam tataran infrastruktur politik.
Melalui sistem pemerintahan demokrasi terpimpin, kekuasaan terpusat di tangan presiden. Presiden tidak dapat di kontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden. Kekuasaan presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan seperti ini adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pandangan politik masyarakat diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter.[8] Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya Hak Asasi kembali terbatas jumlahnya. Di bawah presiden Soekarno beberapa Hak asasi seperti Hak mengeluarkan pendapat secara berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat kabar dibatasi, seperti Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa partai dibubarkan, sperti Masyumi dan PSI, dan pimpinannya Moh. Natsir dan Syahrir ditahan.[9]
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil (judical review) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak-hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara.[10]
Sementara itu, pada sekitar awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM. Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu HAM seringkali digunakan oleh Negara-negara Barat untuk memojokkan Negara yang sedang berkembang seperti Indonesia.[11] Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran, pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademisi yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.[12]
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM. Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara (Undang-undang Dasar 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-undang (UU), peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangam lainnya.
Tabel Perbandingan Pelaksanaan Hak Asasi Ekonomi dan Sosial di Indonesia[13]
Tahun
1980
1990
2000
Jumlah penduduk
147.490.000 jiwa
179.379.000 jiwa
203.456.000 jiwa
Pengangguran
2.136.127 jiwa
1.951.684 jiwa
5.813.231 jiwa
Pertumbuhan Ekonomi
Rata-rata Pelita III 6,1%
7,4%
4,775
Angka Buta Huruf
27,9% dari jumlah penduduk
15,83% dari jumlah penduduk
10% dari jumlah penduduk
B. Hak Kebebasan Beragama di Indonesia


[1] Anak Agung Banyu Perwita, Dr. Yanyan Mochamad Yani. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 151
[2] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Pendidikan Kewargaan (Civiv Education). ICCE UIN Syahid Jakarta. Hal 252-253.        
[3] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia . 2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum. Hal. 115
[4] Ibid. Hal. 115
[5] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madadi. 2007. Jakarta : ICCE UIN Syarif hidayatullah.  Hal. 259
[6] Ibid. Hal. 260
[7] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia . 2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum.
[8] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madadi. 2007. Jakarta : ICCE UIN Syarif hidayatullah.  Hal 262
[9] Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. 2008. Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi.  Hal. 250.
[10] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madadi. 2007. Jakarta : ICCE UIN Syarif hidayatullah.  Hal 262
[11] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia . 2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum. Hlm. 117
[12] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia . 2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum. Hlm. 117
[13] Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. 2008. Jakarta : PT Ikrar Mandiriabadi.  Hal. 253.

Politik Global Amerika Serikat dalam Isu Ekonomi Politik Internasional dan Lingkungan


Hak cipta Oleh  : Ahla Aulia (108083000043)

Amerika Serikat pada tahun 1930, menjadi Negara yang dominan dan hegemoni terlebih saat terjadinya krisis ekonomi, namun Amerika Serikat tidak berkeinginan mengambil tanggung jawab untuk menciptakan tatanan ekonomi yang liberal. Namun keinginan itu muncul setelah perang kedua berakhir. Perang tersebut telah menjadikan Amerika Serikat sebagai Negara adidaya yang tidak tersaingi. Sebagai reaksi, beberapa politisi Amerika Serikat mengakui bahwa Amerika Serikat harus mengambil tanggung jawab untuk menciptakan perekonomian pasar dunia yang liberal.[1] Namun upaya Amerika Serikat untuk memajukan perekonomiannya sudah terlihat sejak Amerika di pimpin oleh presiden T. Roosevelt. Fokus perhatian Amerika Serikat pada bidang ekonomi Politik tercermin pada proses perdagangan yang dilakukan oleh AS ke Negara-negara lainnya. Selian itu, amerika Serikat juga mengembangkan industry negaranya agar lebih maju, sehingga Amerika Serikat melakukan ekspansi untuk mendapatkan bahan mentah dan mengadakan kerjasama dengan Negara lain yang menjadi pasar bagi Amerika Serikat.
Setelah perang dunia kedua, Amerika Serikat mengambil pimpinan dalam menentukan institusi dan peraturan baru yang mendasari perekonomian dunia liberal yang berubah. Sitem tersebut dinamakan system Bretton Woods yang menjadi tempat persetujuan tersebut dibua pada tahun 1947 untuk membnetuk lembaga-lembaga penting perekonomian liberal pasca perang, seperti IMF (International Monetary Fund), World Bank, GATT (sekarang WTO : World Trade Organization). Jelas system itu demi kepentingan Amerika Serikat, sebagai kekuatan industrial dominan dunia, peekonomian yang terbuka merupakan keuntungan besar bagi Amerika Serikat sebab akan member akses bagi pasar luar negerinya.[2]
Kemajuan dan perkembangan perindustrian sangat berpengaruh pada keadaan alam dan lingkungan hidup. Kegiatan perindustrian telah menyebabkan banyak kegiatan eksploitasi atau degradasi lingkungan baik skala lokal maupun nasional. Dan eksploitasi tersebut dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia sehingga dapat dianggap sebagai masalah global, seperti masalah erosi dan degradasi tanah, penebangan hutan, polusi air dan masalah lingkungan lainnya. Selain itu, karena emisi gas atau pengeluaran karbon dioksida yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik industri dapat menyebabkan global warming di masa yang akan datang. Akhirnya PBB mengadakan suatu konferensi yang dinamakan UNFCC (United Nations Framework on Climate Change) di Kyoto, Jepang, yang ditujukan untuk memaksa kurang lebih 150 negara di dunia yang sadar akan lingkungan dan agar lebih merespon permasalahan lingkungan dan menjaga keberlangsungan bagi kehidupan lingkungan di masa depan. Konferensi tersebut akhirnya menghasilkan perjanjian Protokol Kyoto. Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.[3]
Green politic theory mengajukan dasar normatif dari sudut pandang politik hijau mengenai politik global, ekologi global yang membuat suatu dasar eksplanatif. Green political theory memiliki semboyan yang sangat terkenal, yaitu berpikir global, bertindak lokal (think globaly, act locally). Dua prinsip tersebut berasal dari pemikiran bahwa sementara permasalahan lingkungan dan sosial atau ekonomi berlangsung pada suatu skala global, prinsip-prinsip tersebut hanya dapat terwujud dengan mendobrak struktur kekuasaan global yang akan mendorong mereka ketindakan lokal dan pembentukkan masyarakat politik dan swadaya ekonomi dalam skala yang lebih kecil.
Perjanjian yang tercatat dalam Protokol Kyoto mewajibkan Negara-negara yang mengembangkan program industrinya, terutama Negara-negara maju untuk mengurangi penggunaan gas emisi dunia.[4] Amerika Serikat sebagai Negara maju yang menjadi penyumbang gas emisi terbesar di dunia, menganggap bahwa protokol Kyoto tersebut tentu akan menghambat proses industri Amerika Serikat sehingga mengancam perekonomian Amerika Serikat. Amerika Serikat yang pada tahun 1990 tercatat sebagai Negara penyumbang gas emisi terbesar, dengan memproduksi lebih dari enam milyar ton gas rumah kaca per tahun, diwajibkan untuk mengurangi penggunaan gas emisi sebesar 30%. Akhirnya pada tahun 2001 Amerika Serikat mundur dari kesepakatan Protokol Kyoto dan menolak meratifikasi dengan mengatakan hal itu akan merugikan ekonominya dan protokol tersebut tidak sempurna karena tidak menerapkan restriksi emisi dari negara-negara yang industrinya berkembang pesat, seperti China dan India.[5]
Sikap Amerika Serikat ini telah melanggar kesepakatan internasional.[6] Padahal sebelumnya Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bush senior telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian induknya, yaitu Kerangka Konvensi Perubahan Iklim, yang mengharuskannya mengadopsi kebijakan nasional dan mengambil langkah untuk mitigasi perubahan iklim dengan membatasi emisi gas rumah kaca.[7] Bahkan pada pertemuan peranjian Protokol Kyoto II, tidak hanya Amerika Serikat yang mengundurkan diri dan menolak meratifikasinya, tapi juga Negara lain seperti Rusia dan Italia. Ini disebabkan karena Amerika Serikat adalah Negara maju pertama yang keluar dari kesepakatan tersebut karena takut mengancam kemajuan indutrinya, sehingga Negara-negara lainnya turut serta mengambil langkah yang diambuil oleh Amerika Serikat.
Presiden Bush bahkan menawarkan perjanjian baru untuk merevisi perjanjian Protokol Kyoto. Para delegasi dan pakar dari 180 negara di dunia bertemu di Barcelona, Spanyol untuk menyusun draft konvensi baru tentang perubahan iklim. Pertemuan ini merupakan upaya terbaru masyarakat internasional untuk menciptakan kesepahaman tentang konvensi pengganti Protokol Kyoto[8]. Inilah salah satu upaya Bush untuk tidak menetapkan dan mensahkan Protokol Kyoto. Sikap yang sedikit berbeda di tujukan oleh presiden Obama, Presiden Barack Obama berusaha merubah arah kebijakan Amerika Serikat terhadap permasalahan perubahan iklim agar lebih ramah lingkungan dan tidak begitu memusatkan perhatiannya pada sector industry. Namun pada kenyataannya Amerika Serikat pada saat konferensi Copenhagen tahun 2009 hanya akan mengurangi emisi sebesar 17% dari level tahun 2005.[9] Sedangkan pengurangan gas emisi yang seharusnya dilaksanakan oleh Amerika Serikat sebesar 30%.
Ini menunjukan bahwa sikap Amerika Serikat yang menolak untuk mengikuti peraturan yang telah di tetapkan dalam Protokol Kyoto untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik bagi keberlangsungannya di masa depan, cenderung lebih bersikap arogansi dan lebih mementingkan National Interesnya dibandingkan kepentingan global. Amerika Serikat lebih memprioritaskan kestabilan dan kemajuan ekonomi politik negaranya. Padahal, sebagai Negara maju yang memiliki pengaruh besar dalam system internasional, Amerika serikat harus bersikap lebih bijak untuk menaggapi isu dan permasalahan yang bersifat global. Kekhawatiran Amerika Serikat akan ancaman perekonomian negaranya terutama dalam sector industri yang akan terhambat karena adanya perjanjian Protokol Kyoto tersebut, justru mendapat tantangan dari masyarakat Amerika Serikat sendiri. Namun hingga saat ini kongres Amerika Serikat tidak pernah menyetujui peratifikasian Protokol Kyoto meski mendapat kecaman dari banyak pihak.[10]
Kemajuan industri yang dicapai oleh suatu Negara telah menyebabkan krisis terhadap lingkungan karena telah melakukan eksploitasi terhadap lingkungan dan sumber daya alam. Meskipun banyak Negara industry maju yang berusaha untuk menciptakan industry yang lebih ramah lingkungan, tapi hal tersebut sulit untuk dilakukan jika penggunaan sumber daya alam yang diambil terus menerus dilakukan. Terlebih biaya untuk menciptakan industri yang ramah lingkungan membutuhkan biaya yang sangat mahal. Inilah yang menjadi perdebatan kaum environmentalism dan gerakan politik hijau.[11]


[1]  Robert Jackson & Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. 2009. Yogyakarta : Pustaka pelajar. Hal. 248
[2]  Ibid. hal. 250
[4] Ada tiga mekanisme yang diatur di Protokol Kyoto ini yaitu berupa : 1) joint implementation; Clean Development Mechanism; dan Emission Trading. Joint Implementation (implementasi bersama) adalah kerja sama antar negara maju untuk mengurangi emisi GRK mereka. 2) Clean Development Mechanisme (Mekanisme Pembangunan Bersih) adalah win-win solution antara negara maju dan negara berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi (CER) bagi negara maju tersebut. 3) Emission Trading (Perdagangan emisi) adalah perdangan emisi antar negara maju.
[6] Pada konvensi tersebut telah ditegaskan : "Ekonomi organisasi integrasi regional" berarti suatu organisasi yang dibentuk oleh Negara berdaulat dari suatu kawasan tertentu yang memiliki kewenangan dalam hal hal yang diatur oleh Konvensi atau protokol dan telah diberi kewenangan, sesuai dengan internal prosedur, untuk menandatangani, meratifikasi, menerima, menyetujui atau meratifikasi instrumen yang bersangkutan
[8] Ibid. diakses pada 23 Mei 2011
[9] http://politik.kompasiana.com/2009/12/21/indonesia-dan-kesepakatan-copenhagen/ diakses pada 23 Mei 2011
[10] Miranda A. Schereus. The Climate Change Divide : The European Union, The United States and the future of Kyoto Protocol. Dalam Norman J. Vig da Micheal G Faure. Hal. 218.
[11] Environmentalism menerima framework yang berdasarkan pada struktur politik, sosial, ekonomi dan normatif dunia yang ada sekarang ini dan ingin memperbaiki lingkungan melalui struktur yang ada tersebut. Sedangkan Green Politics justru melihat struktur yang ada tersebut sebagai penyebab utama timbulnya krisis lingkungan dan oleh karenanya menganggap perlunya mereformasi dan memperbaiki struktur-struktur tersebut.