Sabtu, 12 Februari 2011

Tantangan Terbentuknya ASEAN Economic Community (AEC)

The Association of South East Asian Nations (ASEAN) yang telah berusia lebih dari empat dekade, dari tahun ke tahun berusaha meningkatkan integrasi kerjasama antar negara anggota ASEAN. Cetak biru (blueprint) tentang pembentukan Masyarakat ASEAN yang salah satunya berpilar pada ekonomi, yaitu ASEAN Economic Community (AEC), telah disepakati oleh negara anggota ASEAN dalam Bali Concord II tahun 2003. Terbentuknya AEC yang direncanakan terwujud pada tahun 2015, memiliki masalah dan tantangan sendiri bagi negara yang berada di kawasan Asia Tenggara. Essay ini akan menjelaskan pandangan kaum Neo-Realisme mengenai tantangan terbentuknya AEC. Menurut pandangan Neo-Realisme setidaknya ada 3 tantangan terbentuknya AEC nantinya, yaitu : Pertama; Neo-Realisme memfokuskan perhatiannya pada struktur internasional yang anarki, sehingga berpotensi munculnya cheater agar dapat bertahan (survive). Kedua; Sitem internasional yang ada, menyebabkan negara mengalami seccurity dillema, dan hal ini menyebabkan negara bergantung kepada negara besar untuk memperoleh keamanan. Ketiga; Menurut Kenneth Waltz, dalam stuktur internasional yang anarki, negara-negara akan saling mencari keuntungan (profit seeking) untuk memajukan perekonomian negaranya sendiri. Pendekartan Neo-Realisme menyebutkan bahwa negara lebih mementingkan diri sendiri agar national interest negara mereka terpenuhi (self help). Sehingga negara tersebut akan terus mencari keuntungan bagaimanapun caranya.

Sebelum menganalisa hambatan dan tantangan terbentuknya AEC, perlu memahami terlebih dahulu mengenai tujuan dibentuknya AEC. ASEAN Economic Community atau AEC merupakan salah satu dari tiga pilar utama dalam pembentukan ASEAN Economic Community. Pada KTT ASEAN ke-9 tahun 2003, para pemimpin ASEAN sepakat untuk membentuk ASEAN community yang dipertegas kembali pelaksanaannya pada KTT ke-12 pada Januari 2007. Pada KTT ini ditandatangani deklarasi Cebu tentang percepatan pembentukan ASEAN Community pada tahun 2015. AEC memiliki empat pilar utama yang ingin diwujudkan, yakni pasar tunggal ASEAN, pengembangan perekonomian di ASEAN, pemerataan Ekonomi dan peningkatan daya saing global. AEC merupakan aliansi negara-negara ASEAN untuk membuat sebuah pasar tunggal (single market) yang mengaklerasikan arus keluar masuk barang, jasa, investasi, dan tenaga kerja yang lebih bebas diantara negara-negara ASEAN. Pembentukan AEC sendiri dimaksudkan untuk memperkuat institusi ASEAN dalam pengambilan keputusan dan mempercepat integrasi sektor prioritas.

Dalam essay ini, penulis menggunakan teori Neo-Realisme dalam menganalisis apa saja hambatan yang akan dihadapi oleh AEC pada saat penerapannya. Menurut Kennet waltz, seorang pemikir Neo-Realisme, anarki internasional membentuk perilaku negara-negara. Neo-Realisme menganggap bahwa perhatian utama negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup, karena negara bersikap rasional. Kondisi internasional yang anarki ini menempatkan negara-negara dalam sistem internasional sejajar, sebab tidak ada yang memiliki kewenangan yang lebih tinggi untuk mengatur hubungan antar Negara-negara. Oleh karena itu, tingkah laku negara selalu ingin bertahan hidup (survival) dan mencari keuntungan (profit seeking) untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Maka, untuk mencegah suatu Negara mendominasi sistem internasional karena pengejaran kepentingan nasionalnya, Neo Realisme menjadikan Balance of Power sebagai solusinya. Tujuan utama Balance of Power bukanlah untuk menjaga perdamaian, tetapi untuk melindungi keamanan dari Negara-negara besar (kuat), agar tetap bisa bertahan dalam sistem internasional yang anarki. Namun, karena sitem internasional yang anarki, terkadang menyebabkan negara-negara berpotensi untuk bertindak dengan mengabaikan norma guna mencari keuntungan dari yang lain, karena menurut Neo-Realisme negara akan profit seeking untuk mencapai kepentingan nasionalnya (national interest).

Terbentuknya AEC dalam pandangan kaum Neo-Realisme, adalah sebuah aliansi ekonomi yang merupakan usaha perimbangan kekuatan (BoP) untuk menghadapi kekuatan perekonomian negara besar di Asia seperti China dan India. Saat ini, China dan India sedang mengalami kebangkitan ekonomi. Berdasarkan data, China saat ini merupakan negara yang memiliki perekonomian kedua terbesar setelah Amerika Serikat. China mampu memproduksi barang dengan jumlah yang sangat besar dan dapat bertahan meski mengekspor barang dengan harga yang lebih murah, seperti produk besi baja, alat angkutan laut, produk lektronik, buah-buahan, sayur-sayuran, pipa besi, pupuk, tekstil dan sepatu. China merevolusi dan memproduksi barang-barang yang disebut four modernizations pada bidang pertanian, perindustrian, kemiliteran serta saina dan tekhnologi. Sedangkan India, saat ini sedang mengalami perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dalam bidang industri dan jasa seperti jasa transpor, hotel dan restoran.

Meskipun demikian, pembentukan aliansi ekonomi yang maju dan berkembang yang diharapakan oleh ASEAN dapat membentuk Balance of Power yang mampu menyaingi dominasi kebangkitan ekonomi China dan India, memiliki hambatan bagi terbentuknya AEC. Dalam membangun integritas kawasan ASEAN yang lebih maju, ada kesenjangan ekonomi di tiap negara anggota, hal ini karena sistem internasional yang anarki. Keadaan ekonomi yang berbeda di tiap negara, menjadi tantangan apabila AEC dilaksananakan. sistem internasional yang anarki berpotensi memunculkan negara yang cheater untuk mampu bertahan. Tidak hanya memunculkan adanya cheater, sitem anarki juga menimbulkan security dillema anatara negara kawasan, yang menyebabkan negara-negara di ASEAN bergantung dengan negara lain yang memiliki kekuatan besar. Selain itu, pengejaran kepentingan nasional negara-negara di ASEAN untuk dapat bertahan hidup (survival) dan mencari keuntungan (profit seeking) juga menyebabkan pembentukan AEC berjalan tidak mulus. Selain itu,

Perbedaan yang mendasar mengenai latar belakang budaya, sistem dan struktur politik, hingga kondisi perekonomian antar negara anggota ASEAN menjadi faktor keberagaman implementasi kebijakan di suatu negara, dan hal ini adalah tantangan bagi pembentukan AEC. Negara di ASEAN melakukan penerapan kebijakan di dalam negerinya sesuai dengan rasionalitas negara. Dalam kasus kerjasama ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) yang telah direalisasi di tahun 2003, kebanyakan negara melakukan perdagangan tidak dengan ketentuan AFTA, melainkan melalui ketetapan Most Favourable Nations (MNF) negara tersebut. Pengurangan tingkat tarif mencapai 0-5 % yang ditetapkan melalui Common Effective Preferential Tariff (CEPT) dan penghapusan non-tariff barriers yang mulai dilaksanakan di tahun 2002 dirasa sangat merugikan perekonomian negara, khususnya negara yang memiliki Gross Domestic Product (GDP) kecil. Adanya kesenjangan ekonomi dan perbedaan tingkat pendapatan negara ASEAN tersebut telah memunculkan negara yang telah melakukan sebuah kecurangan (cheating) yang akan merugikan salah satu actor seperti kebijakan yang dilakukan Vietnam. Hal ini menunjukan bahwa kesenjangan ekonomi antar negara ASEAN, menyebabkan negara-negara tersebut berusaha untuk tetap bertahan dalam sistem internasional yang anarki sehingga menimbulkan munculnya cheater.

Selain itu, Tatanan sistem yang anarki dan multipolaritas di ASEAN, membuat negara-negara tersebut mengalami security-dilemma antar sesama Negara ASEAN. Menurut Waltz, dalam sistem multipolaritas, negara menggunakan aliansi untuk menjaga keamanannya, tetapi hal ini tidak stabil karena terdapat banyaknya kekuatan yang bisa saja dapat muncul menjadi kekuatan besar. Stabilitas kawasan ASEAN masih dipengaruhi faktor eksternal. Ketidakpercayaan sesama negara membuat mereka meminta security guarantee terhadap negara besar. Sebagai contoh kedekatan Vietnam dengan Cina dan pengaruh AS yang begitu besar di Filipina. Karena sistem internasional yang anarki, tak jarang terdapat negara yang masih bergantung (interdependensi) dengan negara besar di luar kawasan ASEAN karena mengalami seccurity dillema. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut, AEC secara tidak langsung akan diintervensi oleh negara-negara di luar ASEAN yang mempunyai andil dan kepentingan di negara-negara ASEAN.

Menurut Kenneth Waltz, negara-negara akan saling mencari keuntungan (profit seeking) untuk memajukan perekonomian negaranya sendiri, negara cenderung menggunakan sistem pasar merkantilis sebagai alat. Pendekartan Neo-Realisme menyebutkan bahwa negara lebih mementingkan diri sendiri agar national interest negara mereka terpenuhi (self help). Negara tersebut akan terus mencari keuntungan bagaimanapun caranya. Hubungan perdagangan intra-ASEAN yang masih rendah, merupakan tantangan yang harus diselesaikan. Karena barang yang diperdagangkan diantara negara-negara ASEAN relatif adalah barang-barang yang sama, yaitu berasal dari sektor pertanian dan kehutanan (seperti padi, kopi dan kayu). Hal ini menyebabkan negara-negara ASEAN berusaha mencari keuntungan dengan cara mengadakan perdagangan dengan negara di luar ASEAN yang memiliki komoditi yang berbeda dengan negara-negara ASEAN lainnya, contohnya adalah Indonesia yang mengadakan perdagangan gandum dengan Rusia. Selain itu, beberapa negara ASEAN juga menerapkan kebijakan outward-looking economies.

Adanya krisis finansial di Asia Tenggara pada tahun 1998, menyebabkan negara-negara di dalam kawasan Asia Tenggara lebih menyukai untuk melakukan perdagangan dengan negara di luar kawasan, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa yang barang perdagangannya adalah produksi manufaktur. Dari data Sekretariat ASEAN pada tahun 2004, lebih dari 70% ekspor Negara ASEAN dilakukan dengan negara di luar kawasan. Untuk itu, membangun ekonomi regional ASEAN diperlukan perencanaan matang untuk mempermudah mobilitas sumber daya, barang, dan jasa, agar tidak terjadi perebutan pasar. Kelemahan ASEAN untuk menarik Foreign Direct Investment (FDI) yang lebih besar mendorong negara ASEAN mencari jalan sendiri-sendiri untuk tetap bertahan hidup (survival) dalam krisis finansial ASEAN tahun 1998.

Meski demikian, Neo-Realisme memiliki kelemahan dalam menganalisa pelaksaan AEC nantinya. Neo-Realisme tidak dapat menjelaskan bahwa akan ada norma yang akan membentuk perilaku negara-negara ASEAN ketika AEC dapat terealisasikan nantinya. Hal ini semakin diperkuat karena adanya ratifikasi Deklarasi Cebu dan menyepakati AEC Blue Print, yang menunjukan bahwa negara-negara di ASEAN akan berkomitmen untuk melakukan kerjasama sesuai dengan ketetapan yang telah diatur dalam Blue Print tersebut. Apabila negara-negara di kawasan Asia Tenggara menyepakati dan bertindak sesuai dengan aturan yang tercantum dalam AEC Blue print, maka apa yang selama ini diharapakan untuk membentuk empat pilar, yakni pasar tunggal ASEAN, pengembangan perekonomian di ASEAN, pemerataan Ekonomi dan peningkatan daya saing global, dapat terlaksana.

Jadi, apabila dilihat melaui pendekatan Neo-Realisme, pembentukan integrasi ekonomi di kawasan ASEAN tidak lepas dari berbagai hambatan. Kesenjangan ekonomi antar negara ASEAN menjadi hambatan awal dalam pembentukan AEC, karena di beberapa Negara, infrastruktur ekonominya tidak cukup kuat dalam sebuah integrasi ekonomi yang lebih besar. Dan hal tersebut menyebabkan munculnya cheater karena mengalami security dillema sehingga menyebabkna beberapa negara masih tergantung kepada negara besar. Selain itu, Banyaknya negara ASEAN yang lebih suka menjalin kerjasama ekonomi dengan negara maju membuat perdagangan intra-ASEAN menjadi rendah menjadi tantangan lain dalam pembentukan AEC nantinya. Apabila negara-negara ASEAN bertindak sesuai dengan norma yang telah ditetapkan dalam AEC Blue print, maka potensi timbulnya hambatan-hambatan tersebut dapat dicegah sehingga tujuan pembentukan AEC dapat dicapai.


Daftar Pustaka
• Burchill, Scott & Linklater, Andrew. 1996. Teori-teori Hubungan Internasional. Bandung : Nusa Media
• Griffiths, Martin. 2001. Lima Puluh Pemikir Studi Hubungan Internasional. Jakarta : Murai Kencana
• I Wibowo dan Syamsul Hadi. 2009. Merangkul Cina. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
• Joseph and kartik. 2006. Economic Reform in China and India : Development Experience in a Comparative Perspective. Inggris : Edward Elgar Publishing Limited.
• Jackson , Robert & Sorensen , Georg. 2009. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka pelajar.
• Perwita , Anak Agung Banyu & Yani, DR. Yanyan Mochammad. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional Bandung : PT Remaja RosdaKarya
• Severino, Rodolfo C. 2006. Southeast Asia In Search Of An ASEAN Community : Insights from the former ASEAN Secretary-General. Singapore : Institute of Southeast Asian Studies
• Sukarjaputra, Rakaryan dalam Menuju Komunitas Terintegrasi. Kompas. Diterbitkan pada tanggal 8 Agustus 2007
• S. Nuraeni, dkk. Regionalisme dalam studi Hubungan Internasional. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
• Severino, Rodolfo C. 2006. “Southeast Asia In Search Of An ASEAN Community : Insights from the former ASEAN Secretary-General”.
• Winanti, Poopy. 2007. Pasar Tunggal ASEAN, mungkinkah? Draft Laporan penelitian program S2 HI FISIPOL UGM Hal : 17 (Naskah tidak dipublikasikan)
• ASEAN Secretariat. 2008. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta : Indonesia
• Ditjen Kerjasama ASEAN, Deplu 2006
• Countries Profile : https://www.cia.gov/library/publications/the-world.../th.html diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
• https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/ch.html. pada tanggal 29 Desember 2010.
• Ekonomi India Tinggal Landas : www.bapennas.go.id/get-file-server/node/2630/. pada tanggal 29 Desember 2010.
• Agung Setyo wibowo : Mampukah Indonesia menjadi Pionir bagi ASEAN Economi Community 2015? http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/39-april-2009/157-mampukah-indonesia-menjadi-pionir-bagi-asean-economic-community-2015-.html diakses pada tanggal 1 Desember 2010
• Trade Regulations.http://www.buyusa.gov/vietnam/en/vietnam_trade_regulations.html diakses tanggal 21 November 2010
• Kementrian Perdaganagn Republik Indonesia : Tariff. http://www.depdag.go.id/faq/ diakses pada tanggal 1 Desember 2010
• “Britannica Concise Encyclopedia” http://www.answers.com/topic/balance-of-power Diakses pada tanggal 21 November 2010
• Radio Netherland Wereldromroep: Fediya Andina : Filiphna kerepotan meminta bantuan AS. http://www.rnw.nl/filiphina_kerepotan.html diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
• Mendag : krisis Gandum Rusia tak pengaruhi RI. http://www.pksi.depkeu.go.id/news.asp.html diakses pada tanggal 1 Desember 2010.
• Arti definisi/pengertian merkantilisme serta aspek politik mercantilism - sejarah dunia. http://organisasi.org/arti-definisi-pengertian-merkantilisme-serta-aspek-politik-mercantilism-sejarah-dunia diakses pada tanggal 1 Desember 2010.

1 komentar:

  1. kalo diliat dari faktor eksternalnya cina dan india jadi salah satu faktor penghambat terbentuknya aec, apalagi ada cafta..kalo boleh di beri ilham..apa sih kepentingan (national interest) cina dalam pembentukan aec? apalagi cina kan banyak kerjasama dengan asean maupun negara-negara anggota asean...
    tolong dibantu ya....

    BalasHapus

Add your Comment now...
Thank you. ^_^