Hak Cipta oleh : Ahla Aulia
Islam memiliki
peradaban yang diakui dunia sebagai peradaban yang kuat dan tegar. Terdapat
beberapa fakta yang menjadikan peradaban Islam dianggap sebagai peradaban yang
kuat dan tegar. Jatuhnya Dinasti Abbasiyah ke tangan Mongolia ternyata tidak
memadamkan semangat umat Islam. Pada waktu yang
bersamaan, kebangkitan Islam muncul di belahan barat, Andalusia. Saat Andalusia
hancur Islam-pun tumbuh kembali di Turki (Utsmani). Dan ketika runtuhnya
kekhalifahan Utsmaniyah, negara-negara Islam memerdekakan diri dari cengkeraman
komunis hingga sekarang.
Wacana
pemikiran Islam tentang hubungan agama dengan negara mengalami
sebuah dinamisasi terutama pasca kebangkrutan pemerintahan khilafah Islam terakhir, Turki Usmani
Hal ini disebabkab oleh beberapa faktor. Pertama, terjadinya pergeseran
paradigma pemikiran agama yang dimulai sejak ekspansi Prancis atas Mesir yang
menyebabkan hentakan psikologi ummat Islam akan fakta kemajuan bangsa-bangsa di
luar Islam. Keadaan ini meyadarkan ummat Islam, semisal Jamaluddin Afgani,
Sayyid Qutb, Muhammad Abduh dan lain-lain, untuk segera melakukan upaya
pembaruan sikap yang tentunya harus dimulai dari pembaruan paradigma. Sejak itu pergeseran paradigma mulai
terjadi dalam benak ummat Islam dan menjadi usaha yang nampak niscaya untuk
menggapai kemajuan. Kedua, akibat perkembangan modernisasi yang
melanda dunia, termasuk di dalamnya dunia Islam yang secara berangsur-angsur menempatkan modernisasi
dengan implikasinya sebagai keharusan sejarah. Akibatnya, terjadi pergeseran singnifikan
terhadap tafsir bentuk negara ideal yang menyeret debat seputar bagaimana peran
agama dalam menentukan pemerintahan dalam sebuah negara modern yang majemuk. Terutama
sekali seperti apa yang terjadi pada negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam,
seperti Indonesia, Sudan, Turki, Malaysia dan lain-lain.[1]
A. DEFINISI
PEMIKIRAN POLITIK
Sebuah
pemikiran tidak jarang dinisbahkan kepada bangsa yang menyebarkan dan
mengadopsinya sehingga dinyatakan, misalnya, pemikiran Eropa atau pemikiran
Rusia; kadang-kadang juga dinisbatkan kepada peletak dasar pemikiran itu
sehingga sering dinyatakan pemikiran Marxis, pemikiran Plato, atau pemikiran
Hegel.
Suatu
pemikiran juga acapkali disandarkan pada kaidah dasar (al-qaidah al-asasiyyah)
yang menjadi landasan pemikiran tersebut sehingga dinyatakan, misalnya
pemikiran Islam. Disebut demikian karena kaidah dasar yang membangun pemikiran
tersebut adalah kaidah Islam. Kaidah Isalam bukan berasal dari orang Arab atau
manusia lainnya. Kaidah Islam berasal dari Allah swt. Dialah yang telah memberi
nama bagi ideologi (mabda) dan agama ini dengan nama Islam.[2]
Pemikiran
Politik adalah pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan dan pemeliharaan
urusan rakyat. Merupakan pemikiran tertinggi, dibandingkan pemikiran sastra,
pemikiran hukum dan pemikiran faktual. Setiap gerakan tertentu tidak mungkin
terjadi tanpa pemikiran yang melatarbelakanginya. Pemikiran tersebut mungkin
dapat dinamakan ideology, atau asumsi, atau pandangan tentang hidup dan dunia (weltanschauung)
yang dimiliki sekelompok orang tentang dirinya dan dunia sekelilingnya, dan hal
itu sekaligus pembenaran dari segala tindakan yang diambilnya.[3]
Pemikiran Islam dibangun atas dua asas, yakni akal dan syariat.[4]
1.Akal : Islam telah memerintahkan
manusia untuk mempergunakan akalnya. Hal inilah yang menunjukan bahwa akidah
Islam adalah akidah aqliyyah. Akidah yang menjadi asas bagi pemikiran Islam.
Akidah yang dibangun berdasarkan akal.
2. Syariat : Sumber pemikiran Islam,
dengan seluruh bagiannya, adalah hukum syariat yang bersumber dari wahyu, yaitu
al-Quran dan as-Sunnah yakni Ijma sahabat dan Qiyas. Syariat merupakan asas
pemikiran Islam. Sampai kapanpun, pemikiran Islam tidak akan keluar dari
syariat. Agar suatu pemikiran dianggap sebagai pemikiran Islam maka harus digali
dari dalil-dalil syariat, misalnya jihad, syura, dan iman kepada jin. Semuanya
adalah pemikiran Islam yang datang dari dalil-dalil kitabullah dan Sunah Rasul.
Adapun imperialisme, teori darwin, ataupun pemikiran sosialism, bukanlah
pemikiran Islam. Bahkan pemikiran Islam telah menjelaskan sikapnya terhadap
pemikiran-pemikiran semacam ini. Ciri khas pemikiran Islam akan hilang jika
terpisah secara keseluruhan atau sebagian dari wahyu.
B. TIPOLOGI
PEMIKIRAN POLITIK ISLAM TRADISIONAL
Tipologi
ini melihat bahwa Islam adalah agama sekaligus negara (din wa daulah).
Ia merupakan agama yang sempurna dan antara Islam dengan negara merupakan dua
entitas yang menyatu. Hubungan Islam dan negara betul-betul organik dimana
negara berdasarkan syari’ah Islam dengan ulama sebagai penasehat resmi
eksekutif atau bahkan pemegang kekuasaan tertinggi. Sebagai agama sempurna,
bagi pemikir politik Islam tipologi ini, Islam bukanlah sekedar agama dalam
pengertian Barat yang sekuler, tetapi merupakan suatu pola hidup yang lengkap dengan
pengaturan untuk segala aspek kehidupan, termasuk politik. Yang termasuk
tipologi ini adalah Rasyid Ridha (1865-1935), Sayyid Quthub (1906-1966), Abu
al-‘Ala al-Maududi (1903-1979), Taqiyuddin An Nabhani dan di Indonesia Muhammad
Natsir.[5]
Kekhalifahan
Usmani bagi mereka, merupakan pranata politik supra nasional yang mewakili Nabi
pasca Abbasyiah yang mempersatukan Umat Islam di berbagai dunia yang perlu
dihidupkan kembali dengan tugas untuk mengatur urusan agama dan dunia (harasah
al-din wa siyasah al-dunya), suatu pemikiran yang sama persis dengan
pemikiran al-Mawardi misalnya. Alasannya karena Al-Qur’an, Hadis dan ijma’ pun
menghendakinya. Tentu saja ahl al-halli wa al-‘aqd, sebagai lembaga
pemilih khalifah, juga perlu dibentuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Add your Comment now...
Thank you. ^_^