Hak cipta oleh : Ahla Aulia
Secara
harfiyah hak asasi manusia (HAM) dapat dimaknai sebagai hak-hak yang dimiliki
seseorang karena keberadaannya sebagai manusia. Isu mengenai HAM merupakan
suatu tuntutan kemanusiaa. HAM telah menjadi sebuah konsep hukum tertulis yang
mempengaruhi kebijakan suatu negara. Misalnya di Inggris dikenal adanya Magna
Charta 1215 dan Bill of Rights 1776 dan Declaration of
Independence and People Rights. Kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menetapkan Universal Declaration of Human Rights 1498 yang hukum tertulis
tersebut mempengaruhi kebijakan seluruh negara anggota PBB untuk menegakan
Hak-hak Asasi Manusia.
Hak Asasi Manusia
merupakan hak dasar yang sudah melekat pada setiap manusia sejak dia
dilahirkan, dan hak itu merupakan keniscayaan yang tidak dapat dilepaskan pada
setiap individu, karena tanpa hak tersebut manusia tidak dapat hidup sebagai
manusia yang seutuhnya. Misalnya hak untuk hidup, dengan klaim ini, manusia
berhak melakukan apapun yang dapat membuat dia tetap bertahan hidup, karena
tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Hak dasar
tersebut bertujuan untuk menjaga harkat dan martabat individu sebagai manusia
seutuhnya.[1] Menurut
John Locke, Hak Asasi Manusia merupakan anugrah dari yang Maha Kuasa sebagai
sesuatu yang bersifat kodrati. Karena hak tersebut merupakan kodrat manusia,
maka tidak ada kekuasaan apapun di dunia ini yang dapat mencabut hak tersebut. [2]
Setelah
demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan elemen penting dalam
perwujudan sebuah negara yang beradab (civiled nations). Demokrasi dan
HAM memiliki hubungan timbal balik (reciprocal) yang saling mempengaruhi
satu dengan yang lainnya. Jika Demokrasi dan HAM berjalan dengan baik, maka
akan melahirkan dan membentuk tatanan masyarakat dan negara yang demokratis,
egaliter dan kritis terhadap pelanggaran HAM. HAM dan demokrasi
merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah
peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan demokrasi juga dapat
dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk mempertahankan dan mencapai
harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya konsepsi HAM dan
demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat kemanusiaan.
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, Indonesia mengalami pasang surut
dalam penegakan HAM di negaranya. Namun, Indonesia terus berusaha untuk terus
meningkatkan dan mengembangkan pelaksanaan HAM untuk mewujudkan negara yang
beradab (Civiled Nations).
Pemahaman HAM di Indonesia
sebagai tatanan nilai, norma, sikap yang hidup di masyarakat dan acuan
bertindak pada dasarnya berlangsung sudah cukup lama. Wacana HAM di Indonesia
telah berlangsung seiring dengan berdirinya Negara kesatuan Republik Indonesia.
Secara garis besar Prof. Bagir Manan pada bukunya Perkembangan Pemikiran dan
Pengaturan HAM di Indonesia (2001),
membagi perkembangan HAM pemikiran HAM di Indonesia dalam dua periode yaitu
periode sebelum Kemerdekaan (1908–1945), periode setelah Kemerdekaan (1945-sekarang).[3]
1. Periode Sebelum Kemerdekaan
(1908–1945)
Pemikiran HAM dalam periode
sebelum kemerdekaan dapat dijumpai dalam sejarah kemunculan organisasi
pergerakan nasional seperti Boedi Otomo. Dalam konteks pemikiran HAM, pemimpin
Boedi Oetomo telah memperlihatkan adanya kesadaran berserikat dan mengeluarkan
pendapat melalui petisi-petisi yang dilakukan kepada pemerintah kolonial maupun
dalam tulisan yang dalam surat kabar goeroe desa. Bentuk pemikiran HAM Boedi Oetomo dalam bidang hak
kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat. Pemikiran HAM lainnya, lahir dari gerakan
organisasi seperti : [4]
1. Perhimpunan Indonesia
yang lebih menitikberatkan pada hak untuk menentukan nasib sendiri.
2. Sarekat Islam,
menekankan pada usaha – usaha unutk memperoleh penghidupan yang layak dan bebas
dari penindasan dan deskriminasi rasial.
3. Partai Komunis
Indonesia, sebagai partai yang berlandaskan paham Marxisme lebih condong pada
hak-hak yang bersifat sosial dan menyentuh isu-isu yang berkenan dengan alat
produksi.
4. Indische Partij,
pemikiran HAM yang paling menonjol adalah hak untuk mendapatkan kemerdekaan
serta mendapatkan perlakuan yang sama dan hak kemerdekaan.
5. Partai Nasional
Indonesia, mengedepankan pada hak untuk memperoleh kemerdekaan.
6. Organisasi Pendidikan
Nasional Indonesia, menekankan pada hak politik yaitu hak untuk mengeluarkan
pendapat, hak untuk menentukan nasib sendiri, hak berserikat dan berkumpul, hak
persamaan di muka hukum serta hak untuk turut dalam penyelenggaraan Negara.
Lahirnya organisasi pergerakan nasional
tersebut tidak bisa dilepaskan dari sejarah pelanggaran HAM yang dilakukan oleh
penguasa kolonial, penjajahna dan pemerasan hak-hak masyarakat terjajah.[5]
Pemikiran HAM sebelum kemerdekaan pernah menjadi perdebatan dalam sidang BPUPKI
antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak dengan Mohammad Hatta dan Mohammad
Yamin pada pihak lain. Perdebatan pemikiran HAM yang terjadi dalam sidang
BPUPKI berkaitan dengan masalah hak persamaan kedudukan di muka hukum, hak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak, hak untuk memeluk agama dan kepercayaan,
hak berserikat, hak untuk berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan
tulisan dan lisan.
2. Periode Setelah Kemerdekaan (1945–sekarang)
a) Periode 1945-1950
Pemikiran HAM pada periode
awal kemerdekaan masih pada hak untuk merdeka (Self Determination), hak
kebebasan untuk berserikat melalui organisasi politik yang didirikan serta hak
kebebasan untuk untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen. Pemikiran HAM
telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan
masuk kedalam hukum dasar Negara (konstitusi) yaitu, UUD 45.
Wacana HAM masih dirincikan pada :[6]
1. Bidang sipildan
politik, melalui :
a. UUD 1945 (pembukaan,
pasal 26, pasal 27, pasal 28, pasal 29, pasal 30, penjelasan pasal 24 dan 25.
b. Maklumat Pemerintah
tanggal 1 November 1945.
c. Maklumat pemerintah 3
November 1945.
d. Maklumat Pemerintah
14 November 1945.
e. KRIS, Khususnya Bab
V, pasal 7-33.
2. Bidang ekonomi,
sosial dan budaya, melalui :
a. UUD 1945 (pasal 27,
pasal 31, pasal 33, pasal 34, penjelasan pasal 31 dan 32)
b. KRIS pasal 36-40
b) Periode 1950 – 1959
Periode 1950–1959 dalam
perjalanan Negara Indonesia dikenal dengan sebutan periode Demokrasi
Parlementer. Pemikiran HAM pada periode ini menapatkan momentum yang sangat
membanggakan, karena suasana kebebasan yang menjadi semangat demokrasi liberal
atau demokrasi parlementer mendapatkan tempat di kalangan elit politik. Indikatornya
menurut ahli hukum tata Negara ini ada lima aspek :[7] Pertama, semakin banyak tumbuh partai–partai politik dengan
beragam ideologinya masing-masing.
Kedua, Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi betul-betul menikmati kebebasannya. Ketiga,
pemilihan umum sebagai pilar lain dari demokrasi berlangsung dalam suasana
kebebasan, fair (adil) dan demokratis. Keempat, parlemen atau dewan
perwakilan rakyat resprentasi dari kedaulatan rakyat menunjukkan kinerja dan
kelasnya sebagai wakil rakyat dengan melakukan kontrol yang semakin efektif
terhadap eksekutif. Kelima, wacana dan pemikiran tentang HAM
mendapatkan iklim yang kondusif sejalan dengan tumbuhnya kekuasaan yang
memberikan ruang kebebasan.
c) Periode 1959 – 1966
Pada periode ini merupakan
masa berakhirnya demokrasi liberal yang digantikan dengan sistem pemerintahan
demokrasi terpimpin. sistem pemerintahan yang berlaku dengan sistem demokrasi
terpimpin adalah reaksi penolakan Soekarno terhaap sistem demokrasi
Parlementer. Pada sistem ini (demokrasi terpimpin) kekuasan berpusat pada dan
berada ditangan presiden. Akibat dari sistem demokrasi terpimpin Presiden
melakukan tindakan inkonstitusional baik pada tataran supratruktur politik
maupun dalam tataran infrastruktur politik.
Melalui sistem pemerintahan
demokrasi terpimpin, kekuasaan terpusat di tangan presiden. Presiden tidak
dapat di kontrol oleh parlemen, sebaliknya parlemen dikendalikan oleh presiden.
Kekuasaan presiden Soekarno bersifat absolut, bahkan dinobatkan sebagai
presiden RI seumur hidup. Akibat langsung dari model pemerintahan seperti ini
adalah pemasungan hak-hak asasi warga negara. Semua pandangan politik masyarakat
diarahkan harus sejalan dengan kebijakan pemerintah yang bersifat otoriter.[8]
Dengan kembalinya Indonesia ke UUD 1945 dengan sendirinya Hak Asasi kembali
terbatas jumlahnya. Di bawah presiden Soekarno beberapa Hak asasi seperti Hak
mengeluarkan pendapat secara berangsur-angsur mulai dibatasi. Beberapa surat
kabar dibatasi, seperti Pedoman, Indonesia Raya dan beberapa partai
dibubarkan, sperti Masyumi dan PSI, dan pimpinannya Moh. Natsir dan Syahrir
ditahan.[9]
d) Periode 1966 – 1998
Setelah terjadi peralihan
pemerintahan dari Soekarno ke Soeharto, ada semangat untuk menegakkan HAM. Pada
masa awal periode ini telah diadakan berbagai seminar tentang HAM. Salah satu
seminar tentang HAM dilaksanakan pada tahun 1967 yang merekomendasikan gagasan
tentang perlunya pembentukan Pengadilan HAM, pembentukan Komisi dan Pengadilan
HAM untuk wilayah Asia. Selanjutnya pada pada tahun 1968 diadakan seminar
Nasional Hukum II yang merekomendasikan perlunya hak uji materil (judical
review) untuk dilakukan guna melindungi HAM. Begitu pula dalam rangka
pelaksanan TAP MPRS No. XIV/MPRS 1966 MPRS melalui Panitia Ad Hoc IV telah
menyiapkan rumusan yang akan dituangkan dalam piagam tentang Hak-hak Asasi
Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warganegara.[10]
Sementara itu, pada sekitar
awal tahun 1970-an sampai periode akhir 1980-an persoalan HAM mengalami
kemunduran, karena HAM tidak lagi dihormati, dilindungi dan ditegakkan. Pemerintah
pada periode ini bersifat defensif dan represif yang dicerminkan dari produk
hukum yang umumnya restriktif terhadap HAM. Sikap defensif pemerintah tercermin
dalam ungkapan bahwa HAM adalah produk pemikiran barat yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila serta bangsa
Indonesia sudah terlebih dahulu mengenal HAM sebagaimana tertuang dalam rumusan
UUD 1945 yang terlebih dahulu dibandingkan dengan deklarasi Universal HAM.
Selain itu sikap defensif pemerintah ini berdasarkan pada anggapan bahwa isu
HAM seringkali digunakan oleh Negara-negara Barat untuk memojokkan Negara yang
sedang berkembang seperti Indonesia.[11]
Meskipun dari pihak pemerintah mengalami kemandegan bahkan kemunduran,
pemikiran HAM nampaknya terus ada pada periode ini terutama dikalangan masyarakat
yang dimotori oleh LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dan masyarakat akademisi
yang concern terhaap penegakan HAM. Upaya yang dilakukan oleh masyarakat
melalui pembentukan jaringan dan lobi internasional terkait dengan pelanggaran
HAM yang terjadi seprti kasus Tanjung Priok, kasus Keung Ombo, kasus DOM di
Aceh, kasus di Irian Jaya, dan sebagainya.
Upaya yang dilakukan oleh
masyarakat menjelang periode 1990-an nampak memperoleh hasil yang
menggembirakan karena terjadi pergeseran strategi pemerintah dari represif dan
defensif menjadi ke strategi akomodatif terhadap tuntutan yang berkaitan dengan
penegakan HAM. Salah satu sikap akomodatif pemerintah terhadap tuntutan
penegakan HAM adalah dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM)
berdasarkan KEPRES No. 50 Tahun 1993 tertanggal 7 Juni 1993. Lembaga ini
bertugas untuk memantau dan menyeliiki pelaksanaan HAM, serta memberi pendapat,
pertimbangan, dan saran kepada pemerintah perihal pelaksanaan HAM.[12]
e) Periode 1998 – sekarang
Pergantian rezim pemerintahan
pada tahan 1998 memberikan dampak yang sangat besar pada pemajuan dan
perlindungan HAM di Indonesia. Pada saat ini mulai dilakukan pengkajian terhadap beberapa kebijakan
pemerintah orde baru yang beralwanan dengan pemjuan dan perlindungan HAM.
Selanjutnya dilakukan penyusunan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pemberlakuan HAM dalam kehidupan
ketatanegaraan dan kemasyarakatan di Indonesia. Hasil dari pengkajian tersebut
menunjukkan banyaknya norma dan ketentuan hukum nasional khususnya yang terkait
dengan penegakan HAM diadopsi dari hukum dan instrumen Internasional dalam
bidang HAM.
Strategi penegakan HAM pada
periode ini dilakukan melalui dua tahap yaitu tahap status penentuan dan tahap
penataan aturan secara konsisten. pada tahap penentuan telah ditetapkan beberapa
penentuan perundang – undangan tentang HAM seperti amandemen konstitusi Negara
(Undang-undang Dasar 1945), ketetapan MPR (TAP MPR), Undang-undang (UU),
peraturan pemerintah dan ketentuan perundang-undangam lainnya.
Tabel Perbandingan Pelaksanaan Hak Asasi
Ekonomi dan Sosial di Indonesia[13]
Tahun
|
1980
|
1990
|
2000
|
Jumlah penduduk
|
147.490.000 jiwa
|
179.379.000 jiwa
|
203.456.000 jiwa
|
Pengangguran
|
2.136.127 jiwa
|
1.951.684 jiwa
|
5.813.231 jiwa
|
Pertumbuhan Ekonomi
|
Rata-rata Pelita III 6,1%
|
7,4%
|
4,775
|
Angka Buta Huruf
|
27,9% dari jumlah penduduk
|
15,83% dari jumlah penduduk
|
10% dari jumlah penduduk
|
B. Hak Kebebasan Beragama di Indonesia
[1] Anak Agung
Banyu Perwita, Dr. Yanyan Mochamad Yani. Pengantar
Ilmu Hubungan Internasional. PT Remaja Rosdakarya, Bandung. Hal. 151
[2] A.
Ubaedillah dan Abdul Rozak. Pendidikan
Kewargaan (Civiv Education). ICCE UIN Syahid Jakarta. Hal 252-253.
[3] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia .
2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum. Hal.
115
[5] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madadi. 2007. Jakarta : ICCE UIN Syarif hidayatullah. Hal. 259
[7] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia .
2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum.
[8] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madadi. 2007. Jakarta : ICCE UIN Syarif hidayatullah. Hal 262
[9] Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. 2008. Jakarta : PT Ikrar
Mandiriabadi. Hal. 250.
[10] A. Ubaedillah dan Abdul Rozak. Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madadi. 2007. Jakarta : ICCE UIN Syarif hidayatullah. Hal 262
[11] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia .
2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum. Hlm.
117
[12] Bagir Manan. Perkembangan Pemikiran dan Pengaturan HAM di Indonesia .
2001. Jakarta : Yayasan Hak Asasi Manusia, Demokrasi, dan Supremasi Hukum. Hlm.
117
[13] Miriam Budiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. 2008. Jakarta : PT Ikrar
Mandiriabadi. Hal. 253.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Add your Comment now...
Thank you. ^_^