Hak cipta Oleh : Ahla
Aulia (108083000043)
Amerika
Serikat pada tahun 1930, menjadi Negara yang dominan dan hegemoni terlebih saat
terjadinya krisis ekonomi, namun Amerika Serikat tidak berkeinginan mengambil
tanggung jawab untuk menciptakan tatanan ekonomi yang liberal. Namun keinginan
itu muncul setelah perang kedua berakhir. Perang tersebut telah menjadikan
Amerika Serikat sebagai Negara adidaya yang tidak tersaingi. Sebagai reaksi,
beberapa politisi Amerika Serikat mengakui bahwa Amerika Serikat harus
mengambil tanggung jawab untuk menciptakan perekonomian pasar dunia yang
liberal.[1]
Namun upaya Amerika Serikat untuk memajukan perekonomiannya sudah terlihat
sejak Amerika di pimpin oleh presiden T. Roosevelt. Fokus perhatian Amerika
Serikat pada bidang ekonomi Politik tercermin pada proses perdagangan yang
dilakukan oleh AS ke Negara-negara lainnya. Selian itu, amerika Serikat juga
mengembangkan industry negaranya agar lebih maju, sehingga Amerika Serikat
melakukan ekspansi untuk mendapatkan bahan mentah dan mengadakan kerjasama
dengan Negara lain yang menjadi pasar bagi Amerika Serikat.
Setelah
perang dunia kedua, Amerika Serikat mengambil pimpinan dalam menentukan institusi
dan peraturan baru yang mendasari perekonomian dunia liberal yang berubah.
Sitem tersebut dinamakan system Bretton Woods yang menjadi tempat
persetujuan tersebut dibua pada tahun 1947 untuk membnetuk lembaga-lembaga
penting perekonomian liberal pasca perang, seperti IMF (International
Monetary Fund), World Bank, GATT (sekarang WTO : World Trade
Organization). Jelas system itu demi kepentingan Amerika Serikat, sebagai
kekuatan industrial dominan dunia, peekonomian yang terbuka merupakan
keuntungan besar bagi Amerika Serikat sebab akan member akses bagi pasar luar
negerinya.[2]
Kemajuan
dan perkembangan perindustrian sangat berpengaruh pada keadaan alam dan
lingkungan hidup. Kegiatan perindustrian telah menyebabkan banyak kegiatan
eksploitasi atau degradasi lingkungan baik skala lokal maupun nasional. Dan
eksploitasi tersebut dilakukan di banyak tempat di seluruh dunia sehingga dapat
dianggap sebagai masalah global, seperti masalah erosi dan degradasi tanah,
penebangan hutan, polusi air dan masalah lingkungan lainnya. Selain itu, karena emisi gas atau pengeluaran
karbon dioksida yang dihasilkan
oleh pabrik-pabrik industri dapat menyebabkan global warming di masa yang
akan datang. Akhirnya PBB mengadakan suatu konferensi yang dinamakan
UNFCC (United Nations Framework on
Climate Change) di Kyoto, Jepang, yang ditujukan untuk memaksa kurang lebih
150 negara di dunia yang sadar akan lingkungan dan agar lebih merespon
permasalahan lingkungan dan menjaga keberlangsungan bagi kehidupan lingkungan
di masa depan. Konferensi tersebut akhirnya menghasilkan perjanjian Protokol
Kyoto. Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi
rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050.[3]
Green
politic theory mengajukan dasar normatif dari sudut
pandang politik hijau mengenai politik global, ekologi global yang membuat
suatu dasar eksplanatif. Green political theory memiliki semboyan yang
sangat terkenal, yaitu berpikir global, bertindak lokal (think globaly, act
locally). Dua prinsip tersebut berasal dari pemikiran bahwa sementara
permasalahan lingkungan dan sosial atau ekonomi berlangsung pada suatu skala
global, prinsip-prinsip tersebut hanya dapat terwujud dengan mendobrak struktur
kekuasaan global yang akan mendorong mereka ketindakan lokal dan pembentukkan
masyarakat politik dan swadaya ekonomi dalam skala yang lebih kecil.
Perjanjian
yang tercatat dalam Protokol Kyoto mewajibkan Negara-negara yang
mengembangkan program industrinya, terutama Negara-negara maju untuk mengurangi
penggunaan gas emisi dunia.[4]
Amerika Serikat sebagai Negara maju yang menjadi penyumbang gas emisi terbesar
di dunia, menganggap bahwa protokol Kyoto tersebut tentu akan menghambat
proses industri Amerika Serikat sehingga mengancam perekonomian Amerika Serikat.
Amerika Serikat yang pada tahun 1990 tercatat sebagai Negara penyumbang gas
emisi terbesar, dengan memproduksi lebih dari enam milyar ton gas rumah kaca
per tahun, diwajibkan untuk mengurangi penggunaan gas emisi sebesar 30%.
Akhirnya pada tahun 2001 Amerika Serikat mundur dari kesepakatan Protokol
Kyoto dan menolak meratifikasi dengan mengatakan hal itu akan merugikan
ekonominya dan protokol tersebut tidak sempurna karena tidak menerapkan
restriksi emisi dari negara-negara yang industrinya berkembang pesat, seperti
China dan India.[5]
Sikap
Amerika Serikat ini telah melanggar kesepakatan internasional.[6]
Padahal sebelumnya Amerika Serikat pada masa pemerintahan Bush senior telah
menandatangani dan meratifikasi perjanjian induknya, yaitu Kerangka Konvensi
Perubahan Iklim, yang mengharuskannya mengadopsi kebijakan nasional dan
mengambil langkah untuk mitigasi perubahan iklim dengan membatasi emisi gas
rumah kaca.[7]
Bahkan pada pertemuan peranjian Protokol Kyoto II, tidak hanya Amerika
Serikat yang mengundurkan diri dan menolak meratifikasinya, tapi juga Negara
lain seperti Rusia dan Italia. Ini disebabkan karena Amerika Serikat adalah
Negara maju pertama yang keluar dari kesepakatan tersebut karena takut
mengancam kemajuan indutrinya, sehingga Negara-negara lainnya turut serta
mengambil langkah yang diambuil oleh Amerika Serikat.
Presiden
Bush bahkan menawarkan perjanjian baru untuk merevisi perjanjian Protokol
Kyoto. Para
delegasi dan pakar dari 180 negara di dunia bertemu di Barcelona, Spanyol untuk
menyusun draft konvensi baru tentang perubahan iklim. Pertemuan ini merupakan
upaya terbaru masyarakat internasional untuk menciptakan kesepahaman tentang
konvensi pengganti Protokol Kyoto[8].
Inilah salah satu upaya Bush untuk tidak menetapkan dan mensahkan Protokol
Kyoto. Sikap yang sedikit
berbeda di tujukan oleh presiden Obama, Presiden Barack Obama berusaha merubah arah kebijakan Amerika Serikat
terhadap permasalahan perubahan iklim agar lebih ramah lingkungan dan tidak
begitu memusatkan perhatiannya pada sector industry. Namun pada kenyataannya Amerika
Serikat pada saat konferensi Copenhagen tahun 2009 hanya akan mengurangi emisi sebesar 17%
dari level tahun 2005.[9] Sedangkan pengurangan gas
emisi yang seharusnya dilaksanakan oleh Amerika Serikat sebesar 30%.
Ini
menunjukan bahwa sikap Amerika Serikat yang menolak untuk mengikuti peraturan
yang telah di tetapkan dalam Protokol Kyoto untuk menciptakan lingkungan
yang lebih baik bagi keberlangsungannya di masa depan, cenderung lebih bersikap
arogansi dan lebih mementingkan National Interesnya dibandingkan
kepentingan global. Amerika Serikat lebih memprioritaskan kestabilan dan
kemajuan ekonomi politik negaranya. Padahal, sebagai Negara maju yang memiliki
pengaruh besar dalam system internasional, Amerika serikat harus bersikap lebih
bijak untuk menaggapi isu dan permasalahan yang bersifat global. Kekhawatiran
Amerika Serikat akan ancaman perekonomian negaranya terutama dalam sector
industri yang akan terhambat karena adanya perjanjian Protokol Kyoto tersebut,
justru mendapat tantangan dari masyarakat Amerika Serikat sendiri. Namun hingga
saat ini kongres Amerika Serikat tidak pernah menyetujui peratifikasian Protokol
Kyoto meski mendapat kecaman dari banyak pihak.[10]
Kemajuan
industri yang dicapai oleh suatu Negara telah menyebabkan krisis terhadap
lingkungan karena telah melakukan eksploitasi terhadap lingkungan dan sumber
daya alam. Meskipun banyak Negara industry maju yang berusaha untuk menciptakan
industry yang lebih ramah lingkungan, tapi hal tersebut sulit untuk dilakukan
jika penggunaan sumber daya alam yang diambil terus menerus dilakukan. Terlebih
biaya untuk menciptakan industri yang ramah lingkungan membutuhkan biaya yang
sangat mahal. Inilah yang menjadi perdebatan kaum environmentalism dan gerakan
politik hijau.[11]
[1]
Robert Jackson & Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan
Internasional. 2009. Yogyakarta : Pustaka pelajar. Hal. 248
[2]
Ibid. hal. 250
[4] Ada tiga mekanisme yang diatur
di Protokol Kyoto ini yaitu berupa : 1) joint implementation; Clean
Development Mechanism; dan Emission Trading. Joint Implementation
(implementasi bersama) adalah kerja sama antar negara maju untuk mengurangi
emisi GRK mereka. 2) Clean Development Mechanisme (Mekanisme Pembangunan
Bersih) adalah win-win solution antara negara maju dan negara
berkembang, di mana negara maju berinvestasi di negara berkembang dalam proyek
yang dapat megurangi emisi GRK dengan imbalan sertifikat pengurangan emisi
(CER) bagi negara maju tersebut. 3) Emission Trading (Perdagangan emisi)
adalah perdangan emisi antar negara maju.
[6] Pada konvensi
tersebut telah ditegaskan : "Ekonomi
organisasi integrasi regional" berarti suatu organisasi yang dibentuk oleh
Negara berdaulat dari suatu kawasan tertentu yang memiliki kewenangan dalam hal
hal yang diatur oleh Konvensi atau protokol dan telah diberi kewenangan, sesuai
dengan internal prosedur, untuk menandatangani, meratifikasi, menerima,
menyetujui atau meratifikasi instrumen yang bersangkutan
[7] http://indonesian.irib.ir/index.php?option=com_content&task=view&id=16412&Itemid=48
diakses pada 23 Mei 2011.
[8] Ibid. diakses pada 23 Mei 2011
[9]
http://politik.kompasiana.com/2009/12/21/indonesia-dan-kesepakatan-copenhagen/
diakses pada 23 Mei 2011
[10] Miranda A. Schereus. The
Climate Change Divide : The European Union, The United States and the future of
Kyoto Protocol. Dalam Norman J. Vig da Micheal G Faure. Hal. 218.
[11] Environmentalism menerima framework yang berdasarkan
pada struktur politik, sosial, ekonomi dan normatif dunia yang ada sekarang ini
dan ingin memperbaiki lingkungan melalui struktur yang ada tersebut. Sedangkan Green
Politics justru melihat struktur yang ada tersebut sebagai penyebab utama
timbulnya krisis lingkungan dan oleh karenanya menganggap perlunya mereformasi
dan memperbaiki struktur-struktur tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Add your Comment now...
Thank you. ^_^